Rasulullah saw berfirman, “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia menggembalakan kambing”. Para sahabat bertanya: “Termasuk engkau juga?” Maka Beliau menjawab: “Ya, aku pun menggembalakannya dengan upah beberapa Qirath untuk penduduk Makkah.” (HR. Bukhari)
Demikian pula dengan para nabi dan rasul terdahulu sebelum Nabi Muhammad, mereka adalah orang-orang mulia yang tidak berpangku tangan dalam menjemput rezeki Allah Swt. Para nabi dan rasul pun memiliki pekerjaannya masing-masing sebagai lahan ibadah mereka kepada Allah.
Nabi Adam misalnya, beliau adalah seorang petani. Nabi Nuh sebagai tukang kayu. Nabi Ibrahim berkebun. Nabi Yusuf merupakan pegawai negara. Nabi Daud sebagai pandai besi. Masya Allah, para nabi nan mulia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Lantas pekerjaan apa yang paling utama? Apakah yang paling besar pendapatannya, yang paling besar omzetnya, yang paling rapi penampilannya? Saat ini tidak sedikit manusia yang keliru memahami pekerjaan yang paling baik. Biasanya materi, uang menjadi patokannya. Semakin besar uang yang didapat dari suatu pekerjaan, maka pekerjaan tersebutlah yang paling baik. Padahal tidak demikian.
Rasulullah pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini sangat terang bahwa suatu pekerjaan yang utama hendaknya tidak diukur dengan besar-kecilnya materi yang didapat. Karena dalam hadis ini pertanyaannya menggunakan kata “thayyib” atau baik, berkah. Semakin berkah suatu pekerjaan, maka semakin utama pekerjaan tersebut. Maka, kita pun bisa memahami bahwa dalam bekerja itu yang kita kejar adalah berkahnya, bukan sedikit atau banyaknya.
Rasulullah juga bersabda, “Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan yang ia makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Karena Nabi Daud alaihis salam dahulu bekerja pula dengan hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari)
Berbahagialah bagi siapa pun yang diberi kesempatan untuk bekerja. Kesempatan dalam arti potensi yang dimiliki oleh diri kita, sehingga kita bisa mengerjakan sesuatu sebagai ikhtiar menjemput rezeki Allah. Dan, bekerja yang bisa bernilai ibadah adalah dambaan kita semua agar tidak hanya kebutuhan duniawi yang bisa kita raih, melainkan juga kebahagiaan di akhirat pun diraih. Insya Allah! (Inilah)