Syiar Idul Fitri tahun ini bertambah semarak dengan waktu pelaksanaannya yang bersamaan di banyak tempat. Di Turki dan Suriah pun pelaksanaan Idul Fitri jatuh pada hari Ahad, 19 Agustus 2012. Idul Fitri yang kami rayakan di sini pun berbarengan dengan perayaan sanak saudara kami di tanah air Indonesia. Bedanya, Idul Fitri kami kali ini bersama saudara seiman kami, rakyat Suriah yang mengungsi di Turki. Bukan bersama anak-istri.
Tak banyak yang berbeda antara tradisi Idul Fitri bangsa Indonesia dan Suriah. Usai salat Id, lazimnya mereka pun mengunjungi sanak saudara. Hanya, bencana kemanusiaan telah memisahkan mereka dengan sebagian sanak saudara. Kalau hari ini kami berpisah dengan handai taulan, hanya dengan selembar tiket pesawat di tangan, esok dapat berharap besar berjumpa dengan mereka. Harapan yang belum tentu dimiliki para pengungsi di sini, berapapun harga yang mereka bayar.
Usai salat Id, kami kedatangan beberapa tamu (layaknya open house, he.. he.. Bedanya, kami yang kedatangan tamu tak perlu repot-repot bikin hidangan, karena kebanyakan mereka malah bawa makanan). Hidangan khas Idul Fitri di sini namanya mansaf. Sejenis nasi yang dicampur gandum. Ada juga syurbatul adas, sejenis bubur berisi kacang adas.
Tamu kami tak hanya pasien yang pernah berobat ke klinik darurat tempat kami tinggal. Hampir sebulan kami di sini, makin banyak pengungsi yang tahu ada “dokter jaga” yang datang dari Indonesia. Apalagi, saat salat Id tadi yang bertindak selaku imam dan khatib adalah saudara seiman mereka yang datang dari jarak 8 ribu-an km. Ya, Abu Samir, yang dituakan di kamp pengungsian sini meminta Abu Haris, relawan HASI yang dalam misi kali ini bertindak sebagai penerjemah untuk menjadi imam dan khatib salat Id.
Dalam ceramahnya tadi, alumni LIPIA Jakarta yang sedang menyelesaikan program magisternya di sebuah PTS di Jakarta ini menekankan pentingnya penjagaan nilai-nilai tauhid. “Hanya dengan tauhid-lah kita sanggup menapaki ujian demi ujian hingga akhirnya mencapai kemenangan,” di antara petikan isi khotbahnya.
Kembali ke para tamu. Mereka adalah orang-orang yang terpisah dari keluarganya. Semenjak krisis kemanusiaan melanda Suriah mereka tercerai-berai. Ada yang terlunta-lunta di pengungsian, terkurung di kota yang dikepung tentara Bashar, disekap dalam penjara-penjara gelap, atau bahkan meninggal di jalan-jalan.
Diantara mereka adalah Abu Amir, lelaki tua asal Latakia. Ini Idul Fitri pertama bagi Abu Amir berpisah dengan keluarganya. Putra keduanya tergolek di sebuah rumah sakit Turki. Sekujur badannya terluka parah terkena pecahan roket tentara Bashar. Sedangkan putra ke-tujuhnya, kini dalam sekapan tentara Bashar. Ceritanya, sang putra ditangkap saat bersama ayahnya membawa hasil bumi untuk dijual di pasar–Abu Ali memang menggantungkan hidup keluarganya dari hasil pertanian.
Abu Ali tak tahu kondisi putranya saat ini. Sudah tiga bulan sang putra disandera tentara Bashar yang meminta tebusan sebesar 250 ribu Lira Suriah (sekitar Rp. 36 juta). Mereka mengancam, jika dalam sebulan ke depan tidak ditebus, sang putra akan ditembak mati. “Saya pasrahkan semua pada Allah. Saya yakin, Ia akan memberi keputusan terbaik kepada kami,” tuturnya lirih. Ada gelayut rindu mendalam yang terlihat dari air mukanya. Rindu dan doa, karena hanya itu yang dapat dilakukannya untuk putra tercinta. Sebab, angka 250 ribu Lira tentu jumlah yang tak sederhana bagi petani kecil seperti Abu Ali.
Yayladgi, 1 Syawal 1433 H
Angga Dimas P
Ketua Relawan HASI