Ada menyindir dan mencoba mengingatkan, tidak mempan. Apalagi secara aturan memang tidak berbunyi tegas, “yang mewakili harus anak laki-laki.” Orang itu merasa bisa menyiasati celah aturan ini.
Hingga tibalah saatnya. Suatu hari, orang tersebut berduka. Anaknya meninggal dunia. Ia sedih, tetapi lebih sedih lagi saat melihat para pentakziyah. Jumlahnya banyak, tidak selisih satu pun dibandingkan takziyah di rumah-rumah lainnya. Namun, yang ikut sholat jenazah hanya sedikit. Jumlahnya banyak, tetapi ia tidak melihat wajah-wajah tetangganya. Rupanya, semua tetangganya membayar tukang becak untuk mewakili mereka.
Duka di atas duka. Saat anak meninggal, tak ada tetangga yang hadir menyolatkan. Tak ada tetangga yang mengantar jenazah ke pemakaman. Rupanya, warga memiliki cara untuk membalas apa yang ia lakukan selama ini.
Sejak saat itu, akhirnya ia bertaubat. Setiap ada tetangga yang meninggal, ia datang sendiri untuk takziyah. Tak lagi membayari tukang becak untuk mewakili. [Muchlisin BK/Kisahikmah]