Eramuslim – Pada saat sains empiris tidak bisa membedakan sinar (dhiya’) dan cahaya (nur), padahal waktu itu sains empiris sedang pada puncak kejayaannya.
Saat sains empiris tak bisa membedakan antara sinar dan cahaya, kita menemukan Alquran senantiasa mendeskripsikan matahari sebagai benda bersinar dan bulan sebagai benda bercahaya.
Allah berfirman, “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya.” (QS Yunus: 5).
Sinar adalah sesuatu yang memancar secara langsung dari benda yang menyala dan bercahaya dari dirinya sendiri. Dan ketika sinar itu menerpa benda gelap (tidak menyala), benda itu akan memantulkan cahaya.
Pembedaan yang teliti ini antara sinar dan cahaya pada 1.400 tahun yang lalu, merupakan salah satu bukti akan kemukjizatan ilmiah Alquran.
Logikanya, apakah pada masa yang sangat jauh itu ada yang bisa melakukan pembedaan tersebut selain Sang Pencipta?
Allah berfirman, “(Dia menciptakan) tanda–tanda (petunjuk jalan). Dan dengan bintang–bintang mereka mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl: 16).
“Dan Dialah yang menjadi bintang – bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut.” (Al-An’am: 97).
Al-Quran telah menunjukan bahwa petunjuk jalan dalam kegelapan adalah bintang-bintang, bukan planet-planet, walaupun planet-planet juga bersinar sebagaimana bintang-bintang.
Sinar planet-planet pun sampai di bumi sebagaimana sinar bintang-bintang pada tengah malam.
Sains modern telah membuktikan bahwa bintang adalah sumber cahaya yang sebenarnya di langit. Sebab, bintang adalah benda langit yang terdapat nyala api di dalamnya dan suhunya bisa mencapai jutaan derajat.