“Dan jika ini merupakan puncak kebaikan, sudah pasti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam lebih berhak mendapatkannya-pada masanya-daripada masa kami.” terang ‘Umar sembari terus menangis, mengkhawatirkan capaiannya dalam memimpin kaum Muslimin.
Inilah Sayyidina ‘Umar bin Khaththab. Inilah laki-laki berjuluk al-Faruq, yang membedakan antara kebaikan dan keburukan. Inilah laki-laki yang ditakuti setan hingga mereka mengambil jalan lain selain yang dilalui olehnya.
Di akhir kisah, dengan tetap bersimbah air mata sedih dan khawatir, sayyidina ‘Umar bin Khaththab memuji seluruh pasukan dan panglima yang telah memenangkan jihad dan membawa harta rampasan secara utuh.
Ujarnya, “Betapa amanahnya pasukan ini. Dan betapa amanahnya pula panglimanya, Sa’ad bin Abi Waqqash.”
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib yang kala itu berada di dekat ‘Umar lantas menuturkan, “Semua ini lantaran engkau yang tidak menyimpan sebersit pun hasrat kekayaan dunia di hatimu. Jika ada secuil syahwat terhadap harta di hatimu, niscaya pasukan itu akan saling bunuh demi memperebutkan ghanimah ini.”
Betapa indahnya masa itu. Betapa indahnya zaman mereka. Betapa indahnya teladan yang kini sudah amat jarang ditapaki ini.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]