Kita terkadang lebih suka ja’im (jaga image). Ketika berbicara ingin kelihatan pintar, mendalam, dan berpengalaman. Ada kalanya lebih dari separuh kata-kata yang diucapkan menggunakan bahasa Inggris dan susunan kalimatnya rapi sesuai dengan tata bahasa Indonesia. Menyebut semua judul buku yang pernah dibaca pada catatan di cover belakangnya. Atau, bisa juga menerangkan tempat-tempat bersejarah serinci dan semirip mungkin dengan yang pernah didengar dari radio.
Penjelasan seperti itu sebetulnya hanya buat kita sendiri saja.Tidak untuk dipuji, dikagumi dan dihormati. Akibat lebih jauhnya adalah menjadikan kita terbiasa untuk berbohong. Dan, hal ini sangat buruk. Lebih bahaya lagi, Allah mengetahui semua yang kita lakukan dan kita ucapkan.
Jadi, menjadi penceramah itu mudah. Tapi belum tentu diridhai Allah Ta’ala. Bicaralah apa adanya saja.Tanpa ada keperluan pribadi atau kepentingan tertentu. Baik keinginan dipuji dan dikagumi maupun dihormati dan ditakuti. Cukup apa adanya saja.
“Sehebat apapun ajakan kebaikan, niscaya tidak akan berdampak apapun apabila kebaikan tidak tampak pada penyerunya.” (inilah)