Demikianlah kita seringkali lupa untuk sekedar berterima kasih. Kita jarang sekali mensyukuri perantara yang telah menjadi jalan datangnya nikmat Allah Swt kepada kita. Padahal sikap mensyukuri perantara nikmat Allah Swt itu adalah gerbang yang akan mengantarkan kita kepada nikmat-nikmat Allah Swt yang lain yang belum ada pada diri kita.
Seperti ke dokter. Ketika kita sakit, kita ingat dan mencari-carinya. Tapi setelah sembuh, tidak pernah ingat kepadanya, apalagi berniat untuk menghubunginya, menanyakan kabarnya, mendoakannya atau mengucapkan terima kasih atas jasa yang telah membantu menyembuhkan penyakit kita. Kita beranggapan bahwa ucapan terima kasih kepadanya sudah selesai saat kita membayar jasanya. Hubungilah ia, tanyakan kabarnya, keadaan keluarganya, kesehatannya, dan jangan sungkan berterima kasih kepadanya. Demikianlah yang dimaksud sikap mensyukuri perantara nikmat Allah Swt.
Dalam satu riwayat disampaikan bahwa Abdullah bin Abbas menceritakan, “Suatu ketika Rasulullah Saw masuk ke kamar kecil. Kemudian aku menyediakan air bersih untuk beliau pakai berwudhu. Ketika beliau selesai dari hajatnya, beliau bertanya, “Siapakah yang telah meletakkan (air wudhu) ini?” Kemudian beliau diberitahu bahwa akulah yang telah melakukannya. Maka Rasulullah Saw (membalas kebaikanku dengan) berdoa, “Ya Allah, berikanlah dia (Ibnu Abbas RA) pemahaman dalam agama“. (HR. Bukhari)
Kisah di atas memperjelas kepada kita bahwa sikap berterima kasih adalah sikap yang sudah sewajibnya kita lakukan. Tidak semata-mata Rasulullah Saw mencontohkan sikap berterima kasih kecuali ada banyak kebaikan di dalamnya. Ini adalah tuntunan Rasulullah Saw dalam urusan muamalah atau pergaulan antara sesama manusia.
Dalam haditsnya yang lain, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa tidak berterimakasih kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah.” (HR. Tirmidzi).
Hadits di atas setidaknya memiliki tiga makna. Yaitu, bahwasanya Allah Swt tidak akan menerima syukur seorang hamba-Nya atas nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya, apabila dia tidak berterima kasih atas kebaikan yang dilakukan oleh orang lain kepadanya.
Barangsiapa memiliki kebiasaan mengingkari kebaikan orang lain terhadap dirinya dan tidak bersyukur (berterima kasih) atas kebaikan mereka, maka niscaya dia memiliki tabiat atau kebiasaan mengkufuri nikmat Allah Swt, tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Nya.
Adapun makna lain yang terkandung dalam hadits di atas adalah, bahwa barang siapa tidak mensyukuri atau tidak berterima kasih atas kebaikan orang lain terhadapnya, maka dia sama saja dengan orang yang tidak bersyukur kepada Allah Swt.
Demikianlah pentingnya berterima kasih kepada sesama manusia yang telah berbudi baik kepada kita. Jangan lupakan kebaikan yang pernah orang lain berikan kepada kita. Balaslah budi baik mereka. Ingatlah kebaikan mereka dan doakanlah mereka.
Allah Swt berfirman “..Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah [2]: 237).
Setiap manusia adalah makhluk sosial. Seseorang tidak bisa lepas dari interaksi dengan sesamanya. Bahkan seringkali dia harus dibantu oleh orang lain dalam memenuhi kebutuhannya dan demikian pula sebaliknya. Atas dasar inilah, kaum muslimin diperintahkan untuk saling menghormati, saling memahami kondisi dan perasaan dan saling mengasihi terhadap yang memerlukan, saling berterima kasih dan saling memberi kebaikan. Sikap demikianlah yang akan mengantarkan kita kepada nikmat-nikmat berlipatganda dari Allah Swt. (inilah)