Lantaran hal itu, ibadahnya tidak bermakna. Sebab ibadah merupakan sarana untuk mengubah akhlak menjadi baik, lebih baik, hingga terbaik. Ibadah mestinya memiliki atsar berupa semakin baiknya akhlak seseorang, bukan hanya kepada Allah Ta’ala dan Rasulu-Nya, tetapi juga kepada sesama, termasuk tetangga.
Kini, kita banyak mendapati hal ini. Tak perlu menengok ke kanan dan kiri. Tak usah melirik ke depan atau ke belakang. Cukuplah menjadikan riwayat ini sebagai bahan introspeksi kita masing-masing.
Adakah ibadah yang kita lakukan justru menjadi sebab masuknya kita ke dalam neraka? Adakah ibadah yang kita lakukan tak menghalangi diri dari perbuatan keji dan mungkar?
Sudahkah shalat lima waktu dan banyak shalat sunnah yang kita kerjakan membuat diri lebih disiplin dan berlaku jujur dalam interaksi kepada sesama manusia?
Adakah zakat, infaq, dan sedekah yang kita berikan membuat diri semakin peduli dengan masyarakat khususnya mereka yang kurang beruntung terkait kehidupan dunia?
Adakah dzikir yang senantiasa kita dawamkan membuat lisan terhindar dari mengatakan keburukan dan hanya mengatakan kebaikan atau memilih diam?
Sungguh, ini persoalan yang sangat penting. Hendaknya kita menjadi orang pertama yang mengamalkannya. Sebab jika tidak, Islam, Allah Ta’ala, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam akan dihina dan dicap buruk lantaran kelakuan yang kita lakukan ini.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]