Eramuslim – Setiap muslim hendaknya belajar fikih untuk meningkatkan ilmu agamanya dan meningkatkan imannya kepada Allah SWT.
Sejatinya, hakikat fikih dalam Kitab Bughyatul Musytarsyidin adalah sesuatu yang terletak dalam hati dan tampak di lisan. Fikih memberi manfaat terhadap pengetahuan.
Melalui ilmu pengetahuan soal fikih maka setiap muslim jadi mengerti kewajibannya sebagai seorang muslim. Selain itu juga membuat muslim merasa takut berbuat sesuatu yang dilarang oleh syariat Islam.
Ulama sebagai seseorang yang mengetahui syariat Islam dan fikih wajib menyampaikan ilmunya kepada umat, terlebih lagi para ahli ibadah.
Namun, kadang esensi fikih membuat seseorang yang ahli fikih hanya tahu teori dan praktik tanpa menghayatinya. Artinya, ilmu fikih yang mencakup rangkaian ibadah itu hanya akan diamalkan karena rasa takut atau rasa riya ketika menjalankannya, tidak karena Allah SWT
Seperti dilansir dari website Pondok Pesantren Lirboyo, Imam an-Nawawi mengatakan, “Seorang ulama tidak akan tampak karomahnya, seperti halnya orang yang ahli ibadah, meskipun ulama lebih utama, ketika ada sifat riya dalam dirinya.”
Seorang laki-laki bertanya kepada Abu Hurairah R.a., ia berkata “Aku menginginkan belajar ilmu (fikih), disaat yang sama aku juga takut suatu saat menyia-nyiakannya.”
Abu Hurairah menjawab, “Kamu meninggalkan (belajar) ilmu, itu adalah kesia-siaan.”