Tujuannya adalah munculnya rasa cinta, baik dari diri pemimpin itu maupun rakyat terhadap pemimpinnya. Ketulusan memunculkan kharisma seorang pemimpin. Seperti kita tahu, selama di Afrika Utara dan Andalusia, Ibnu Khaldun menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana sulitnya sta- bilitas politik terwujud ketika pemimpin-pemim pin saling menjatuhkan satu sama lain.
Di hadapan situasi kacau semacam itu, Machiavelli menulis II Principepada 1532 yang penuh nuansa sinisme dan sarkasme. Sebaliknya, Ibnu Khaldun secara jernih tetap meneguhkan pentingnya ketulusan dalam mem- bangun kepemimpinan yang stabil.
Pengalamannya menyaksikan kekacauan sosial-politik di Andalusia, Maroko, dan Tunis diperhadapkan dengan situasi kondusif dan cahaya peradaban Islam di Mesir. Semenjak di Mesir, Ibnu Khaldun mulai menyadari bahwa kemajuan masyarakat bergantung pada pribadi penguasa yang bijaksana, yakni mendukung kepemimpinan politik dan pendidikan ilmu pengetahuan sekaligus.
Dalam bidang politik, penguasa mesti menjamin stabilitas dan perlindungan sosial. Dalam bidang pendidikan, penguasa mampu merancang kebijakan-kebijakan yang berpihak pada solidaritas sosial (al-asabiyah) dan keadilan. Demikian catatan sejarawan Philip K Hitti (1968).