Eramuslim – Sejatinya memakai sorban adalah budaya Arab. Dalam bahasa Arab, sorban disebut dengan “‘imamah”. Nabi SAW sendiri menggunakannya di kepala. Sedangkan dalam tradisi kita, sorban seringkali berfungsi sebagai selendang. Padahal selain memakai sorban, Nabi SAW juga mengenakan selendang yang dalam bahasa Arab disebut dengan “rida”.
Sebagai tradisi Arab dan bangsa-bangsa lain di dunia, memakai sorban dan selendang tidak menambah mulia seorang hamba. Nabi SAW bersabda seperti dikutip oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Hadits, “Sorban-sorban adalah mahkota-mahkota Arab, maka apabila mereka memakainya, mereka memakai kemuliaan mereka.”
Namun, dalam konteks mengikuti sunah Nabi SAW, tentu memakai sorban termasuk dalam kategori sunah fi’liyah (sunah perbuatan Nabi SAW). Itu artinya, memakai sorban mengalami transformasi dari budaya manusia menjadi ajaran agama. Orang yang melaksanakan perintah agama pasti akan mendapat balasan berupa pahala.
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT dan para malaikat-Nya memberi penghormatan kepada para pemakai sorban pada hari Jumat.” (HR. Thabrani). Begitu juga, “Dua rakaat dengan bersorban adalah lebih baik dibandingkan tujuh puluh rakaat tanpa bersorban.” (HR. Dailami). Berdasar dua hadits ini, memakai sorban adalah sunah.
Sementara itu, memakai sorban ketika shalat juga memiliki dimensi etik. Secara fisik, shalat adalah menghadap Allah SWT Sang Maha Raja Diraja, maka sudah sepantasnya orang yang shalat berpakaian lengkap sebagai penghormatan. Apalagi secara estetik, memakai sorban membuat seorang muslim tampak lebih memesona, indah dan megah.