“Dan ini,” lanjut mereka, “dua istriku. Lihatlah keduanya, mana yang paling engkau sukai, pasti aku akan menceraikannya. Setelah habis masa ‘iddah (masa menunggu sesuai syariat Islam), nikahilah dia.”
Apakah Anda pernah mendapati kisah ini sebelum atau setelah zaman mereka? Di antara mereka memiliki dua istri. Semuanya dia cintai. Akan tetapi, mereka mempersilakan saudaranya untuk memilih mana yang dicenderungi.
Jika Anda berada di pihak yang ditawari istri, pastilah tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan. Jika masih lajang, tawaran ini adalah kesempatan untuk mendapatkan jodoh. Jika pun sudah menikah, naluri manusiawi Anda pasti akan mengiyakan tawaran amat menggiurkan itu.
Akan tetapi, sahabat yang ditawari bukanlah Anda. Mereka merupakan kawanan orang mulia dengan karakter surgawi. Maka, atas tawaran istri dari sahabat Anshar, kaum Muhajirin menyampaikan jawaban mencengangkan.
“Semoga Allah Ta’ala memberikan limpahan keberkahan kepadamu, hartamu, dan keluargamu. Tidak ada sesuatu pun yang aku butuhkan dalam diriku dari apa yang telah engkau sebutkan tadi.” Pungkas sahabat Muhajirin sampaikan jawaban, “Akan tetapi, beritahukan kepadaku letak pasar, agar aku bisa berniaga di sana.”
Bukankah ini akhlak yang amat mulia? Adakah kini orang-orang yang lebih memilih kail, padahal sejumlah ikan besar sudah dibentangkan dan disediakan padanya?
Allahu Rabii… Jadikan kami bagian dari mereka. Jika tidak, cukuplah kami menjadi orang-orang yang mencintai mereka karena Engkau. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]