Apakah karena kita lebih dulu menikah, kemudian mendapatkan istri yang baik hatinya, lalu terbuka peluang untuk menambah istri, kemudian kita merasa lebih hebat di banding sahabat-sahabat satu angkatan atau satu kampung yang tengah diuji dengan belum diturunkannya jodoh bagi mereka?
Apakah karena kita lebih tampan, punya banyak aset, rumah, mobil, sekian banyak usaha dagang dengan omset puluhan hingga ratusan juta perbulan, kemudian kita merasa lebih baik? Merasa lebih disayang Allah sebab diberi karunia melimpah sementara tetangga kita dianggap rendah hanya karena tak miliki penghasilan tetap perbulannya?
Apakah hanya karena kita paling rajin bolak-balik ke masjid menghadiri shalat berjamaah, senantiasa berada di shaf terdepan, bersegera mendatangi masjid seketika setelah adzan, senantiasa menyempurnakan wudhu, dan tidak ketinggalan takbir pertama imam kemudian berhak memicingkan mata terhadap saudara muslim yang sering terlambat shalat berjamaah? Apakah hanya karena itu, kita merasa layak dimuliakan oleh orang lain, kemudian memiliki hak prerogatif untuk membenci dan berlaku sinis kepada mereka yang belum mendapatkan hidayah?
Jika demikian, apa bedanya kita dengan sikap Iblis? Bukankah Iblis yang telah beribadah ribuan tahun langsung divonis neraka sebab sekali menolak perintah Allah Ta’ala dengan kesombongannya? Apakah diri yang baru beribadah tahunan atau hanya puluhan tahun itu, akan selamat dari nereka jika intensitas kesombongan lebih banyak dari kesombongan yang dilakukan Iblis?
Wahai diri, ingatlah baik-baik pesan Nabi yang mulia. Hafalkan, cermati, dan jadikan ia sebagai pegangan hidup. Bahwa Nabi telah sampaikan nasihat sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Tidak akan masuk surga, seseorang yang di dalam hatinya ada seberat zarrah dari kesombongan.”
Sebab, hanya Allah Ta’ala yang layak bersikap demikian. Dialah Yang Mahabesar dan Mahakuasa. [Pirman/kisahikmah]