Eramuslim – فَأَمَّا ٱلْإِنسَٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَٰنَنِ
“Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberikannya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Namun, bila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah menghinaku’.” (QS Alfajr [89]: 15-16).
Semua orang ingin hidupnya mulia dan bahagian di dunia maupun di akhirat. Tak ada seorang pun yang ingin hidupnya sengsara apalagi hina. Namun, kita sering keliru dan salah persepsi dalam menggolongkan siapa yang disebut orang mulia dan orang yang hina. Pandangan sebagian besar orang dalam mengukur kemuliaan hanya dari segi materi, kekayaan pribadi, memiliki rupa tampan atau cantik, ataupun jabatan yang tinggi.
Padahal, materi tidak dapat dijadikan tolok ukur seseorang itu mulia atau hina. Rasulullah SAW bersabda:
شرف الدنيا الغنى ، وشرف الاخرة التقوى ، وأنتم من ذكر وأنثى شرفكم غناكم ، وكرمكم تقواكم ، وأحسابكم أخلاقكم وأنسابكم أعمالكم
“‘Kemuliaan dunia adalah kekayaan dan kemuliaan akhirat adalah ketakwaan. Kamu, baik laki-laki maupun perempuan, kemuliaanmu adalah kekayaanmu, keutamaanmu adalah ketakwaan, kedudukanmu adalah akhlakmu, dan (kebanggaan) keturunanmu adalah amal perbuatanmu.” (HR Adailami).
Selain itu, orang yang mulia selalu menyambung tali persaudaraan dalam setiap kondisi, menebarkan salam, memerhatikan urusan kaum Muslimin, memelihara kemaluan, beraktivitas, dan berusaha mengamalkan kebajikan.