Kelompok pertama ini amat giat bekerja. Menurutnya, bekerja adalah satu-satunya jalan agar seorang hamba dilimpahi rezeki dari Allah Ta’ala. Maka, ia mengerahkan seluruh kemampuan ruhani, pikiran, dan fisiknya untuk mendapatkan rezeki.
Pergi pagi, pulang petang, semua dikerjakannya dengan mengabaikan lelah. Meski menggelayut dan amat menyesakkan. Bahkan di malam kelam, saat orang-orang lelap dalam rehat, mereka tetap melakukan kerja-kerja demi mengupayakan rezeki.
Sayangnya, kelompok ini menafikan hal lain yang amat penting terkait rezeki ini; doa atau ibadah.
Nah, atas salah paham terhadap kelompok pertama ini, maka lahirlah kelompok kedua yang hanya mengandalkan doa atau ibadah ritual, lalu menolak aspek usaha sebagai satu di antara sekian banyaknya sebab didatangkannya rezeki bagi dirinya.
Yang dilakukan oleh kelompok ini hanya berdoa. Sepanjang hari, setiap waktu, di mana dan kapan saja. Selalu berdoa. Hanya munajat. Pikirannya kacau, meski nampak logis, “Jika mau, Allah bisa saja turunkan dua milyar dari langit seketika itu juga.”
Maka kepada golongan kedua ini, ‘Umar bin Khaththab menasihatinya dengan amat tegas, “Janganlah di antara kalian tidak berusaha, lalu berdoa, ‘Ya Allah, kurniakanlah aku rezeki’. Sementara kalian tahu,” lanjut ‘Umar, “bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas atau pun perak.”
Dan sebaik-baik hamba dalam soal rezeki, adalah mereka yang seimbang dan sejalan antara doa dan upaya. Berdoa sekhusyuk mungkin, dan mengupayakan yang terbaik sesuai kemampuannya. Selanjutnya, dia bertawakkal kepada Allah. Sebab mereka tahu, Allah Ta’ala menyukai hamba-hamba-Nya yang bertawakkal. [Pirman/Kisahikmah]