Kedua, orang yang miskin harta belum tentu bangkrut di akhirat, sementara orang yang kaya harta belum jaminan beruntung di akhirat. Orang yang kaya harta boleh jadi muflis di akhirat jika hartanya diperoleh melalui cara-cara yang tidak halal, seperti korupsi. Jadi, koruptor itu pasti merugi, bahkan bangkrut secara moral, baik di dunia maupun akhirat.
Ketiga, muflis itu pasti merugi di akhirat karena neraca keburukan amalnya lebih berat daripada amal salehnya, kendatipun ia mengaku beriman. Oleh karena itu, Alquran mengingatkan kepada kita bahwa agar tidak merugi, kita harus mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal saleh, saling menasihati untuk menaati kebenaran dan menghiasi diri dengan kesabaran (QS Alashr [103]: 1-3). Beriman dan beramal saleh saja memang belum cukup karena seseorang terkadang dibuai oleh sifat takabur dan riya sehingga amal kebajikannya berkarat dan berkeropos.
Orang muflis mulanya merasa bangga dan takjub kepada dirinya bahwa ia telah shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya, tapi dalam waktu sama ia juga melakukan dosa-dosa sosial dan moral. Oleh karena itu, muhasabah menjadi sangat penting dilakukan kapan pun, lebih-lebih pada akhir tahun, agar jangan sampai amal-amal saleh kita tergerogoti oleh dosa-dosa sosial dan moral sehingga menjadi bangkrut, bahkan tekor.
‘Umar bin al-Khattab ra pernah berpesan: Hitunglah [amalan] dirimu, sebelum engkau dihitung [oleh Allah]”. Yang paling tahu neraca amal baik-buruk adalah diri kita sendiri dan Allah SWT. Dengan audit diri (muhasabah), kita dapat memosisikan diri sebagai hamba Allah yang merasa serbatidak sempurna sehingga kita terpacu untuk istiqamah meningkatkan kualitas dan kuantitas amal ibadah kita kepada Allah.
Untuk menjauhkan diri dari kebangkrutan dunia dan akhirat, kita harus selalu memaknai hidup dengan berusaha menjadikan masa depan kita lebih baik. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang akan diperbuat untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr [59]: 18). Bukankah kita termasuk merugi jika neraca amal kita sama dengan hari kemarin atau tahun kemarin. Bahkan, kita sungguh terlaknat jika hari ini, bulan ini, atau tahun ini, amal kita justru lebih menurun dari hari, bulan, dan tahun sebelumnya.