Makna Agung kata ‘Insya Allah’: AWAS! Jangan Asal Mengucapkan

Rasulullah SAW menunggu-nunggu wahyu sampai 15 malam, namun Jibril tak kunjung datang. Orang-orang Makkah mulai mencemooh dan Rasulullah sendiri sangat sedih, gundah gulana, dan malu karena tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada kaum Quraisy. Kemudian, datanglah Jibril membawa wahyu yang menegur Nabi SAW karena memastikan sesuatu pada esok hari tanpa mengucapkan “insya Allah”. (QS al-Kahfi [18]:23-24).

Dalam kesempatan ini, Jibril juga menyampaikan tentang pemuda-pemuda yang bepergian, yakni Ashabul Kahfi (18:9-26); seorang pengembara, yakni Dzulqarnain (18:83-101); dan perkara roh (17:85).

 

Mufassir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Kitab Jaami’ul Bayan menjelaskan, “Inilah pengajaran Allah kepada Rasulullah SAW agar jangan memastikan suatu perkara akan terjadi tanpa halangan apa pun, kecuali menghubungkannya dengan kehendak Allah SWT.

Sungguh agung makna kata “insya Allah” itu. Di dalamnya dikandung makna paling tidak empat hal. Pertama, manusia memiliki ketergantungan yang tinggi atas rencana dan ketentuan Allah (tauhid). Kedua, menghindari kesombongan karena kesuksesan yang dicapai (politik, kekayaan, keilmuan, dan status sosial.) Ketiga, menunjukkan ketawaduan (keterbatasan diri untuk melakukan sesuatu) di hadapan manusia dan Allah SWT. Keempat, bermakna optimisme akan hari esok yang lebih baik.

Bagaimana jika kata “insya Allah” dijadikan tameng untuk memerdaya manusia atau dalih untuk melepaskan diri dari tanggung jawab? Sesungguhnya kita telah melakukan dua dosa. Pertama, menipu karena menggunakan zat-Nya. Kedua, kita telah menipu diri kita sendiri karena sesungguhnya kita enggan menepatinya, kecuali sekadar menjaga hubungan baik semata dengan rekan, kawan, atau relasi. Wallahu a’lam. (rol)

Oleh Hasan Basri Tanjung MA