Keputusan cerai itu pun datang. Kau tampak senang, setali tiga uang dengan saudara-saudaramu. Kau kembali ke mereka yang kaum berada itu. Berimbas pula pada anak-anak kita. Anak pertama laki-laki yang tadinya kupesantrenku kau ajak ke kotamu. Kau manjakan. Untungnya anak kedua, perempuan yang kecil, masih mau menetap pesantren.
Tak lama kudengar kau sudah menikah lagi. Dengan tipikal seorang laki-laki yang ke mana-mana memakai gamis dan sering mengajak orang pergi ke masjid. Baguslah jika kau mendapatkan laki-laki yang sholeh. Turut senang. Namun pernikahanmu dengannya ternyata tak bertahan lama. Hanya setahun. Kau meminta cerai. Aku tak peduli, hanya mampu mengelus dada.
Kini aku berjualan bakso di daerah Bogor. Dengan dua karyawan. Tanpa bermaksud sombong, aku sudah mampu membeli rumah. Tentu ini semua karena kasih sayang Allah SWT. Aku hanya meyakini membuka warung bakso bukanlah pekerjaan rendahan. Bukan status sosial yang patut dihina-nistakan. Meski aku harus menelan pil pahit juga. Anak laki-laki kita, yang kini memilih bersamaku, tak mau lanjut sekolah menengahnya. Kerjaannya hanya nongkrong saja. Telinganya tindikan. Pulang ke rumah hanya meminta uang lalu pergi begitu saja. Murni aku tak menyalahkanmu karena kau cabut dia dari pesantren dan kau manjakan. Ia hanya menjadi korban dari keegoisan kita. Ada hak anak yang tak kita tunaikan.
Pasca kau bercerai dengan suamimu, kau mengirimkan pesan kepadaku. Minta kembali lagi. Aku menimbang-nimbang dengan penuh bimbang. Namun pihak keluargaku menyarankan mentah-mentah. “Jika kau terima dia kembali sebagai istri, jangan pernah anggap kami saudara kau lagi,” tegas mereka berkata.