Entah kenapa kami marah bila ada yang tak sopan pada mereka. Padahal, dulu tak ada yang mengenal guru kami. Kami pun tak juga tahu, hanya mengenalnya dari media dan Youtube.
Tiba-tiba punya nama. Mencuat, melesat bak pencitraan Jokowi saat jadi media darling. Tapi, apa kiprah guru kami untuk agama dan kemerdekaan bangsa ini? Kami tak tahu pula.
Sedang kami enteng menyebut para Sahabat Rasulullah tanpa hormat. Cukup panggil nama: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali. Astaghfirullah.
Kami enggan sekadar memberi penghormatan “Khalifah” atau “Sayyidina” di depan nama mereka. Penghormatan itu bidah bagi kami. Kecuali hormat pada guru kami.
Kajian-kajian keagamaan bak jamur. Tapi kami tega mendiami yatim yang lapar. Membiarkan saudara yang miskin hidup terlantar.
Cuek bebek pada tetangga yang kesulitan bayar tagihan listrik. Mendiami penderitaan mereka yang terjepit himpitan. Membiarkan Muslim yang tercekik jerat-jerat riba.
Lantas, kami khusyu’ bisnis, menumpuk harta dan hidup dalam kemewahan. Kemudian mengaku-aku sebagai paling shaleh dan benar, merendahkan yang lain, sambil membacakan ayat-ayat-Nya tiap pagi dan sore.
Kajian-kajian keagamaan ramai sekali. Kami jadi rajin shalat dan mengaji. Tapi dalam shalat pun, Allah tak hadir di hati kami. Yang muncul: kerjaan, bisnis, persaingan, keduniawian.
Tak ada sabar, syukur, kasih sayang, kelembutan dalam jiwa kami. Entah kemana mereka pergi. Kami tak takut mati, berkoar jihad dan syahid. Padahal, entah jariah apa yang akan dibawa. Kami malah takut besok tak bisa makan. Padahal, rizki telah ditetapkan.
Kajian-kajian keagamaan makin menjamur. Tapi ada yang masih tega membunuh bahkan membakar jasad seorang Muslim hidup-hidup. Bersorak sorai, bertepuk tangan. Menghunus nilai kemanusiaan.
Tega menciptakan anak yatim baru hanya lantaran asesoris masjid. Entah apa jadinya jika kelak, Qs. Al Maun bersaksi.
Para ustaz, mohon, kembalilah. Tolong, beri tauladan pada kami praktik ukhuwah, qanaah, zuhud, itsar, mendahului kebutuhan orang lain. Bukan teori. Apalagi provokasi sini baik, sana buruk, dengan menjual ayat.
Mohon beri kami tauladan: membunuh ke-aku-an, beragama sebenarnya. Membumikan kasih sayang yang tulus. Mohon, kembalilah. Kami lelah dibelah-belah. Bantulah.