Apa yang terjadi? Karena cintanya, Ulama itu pun menuruti. Ternyata syarat itu belum cukup. Ayah dari wanita itu minta syarat lain.
Mengurusi hewan ternak yang masih kecil. “Jika hewannya sudah besar, baru boleh kau nikahi anakku.” Diberi syarat itu, lagi-lagi sang Ulama menyetujui.
Di tempat lain, murid-muridnya bingung lantaran gurunya tak ada di majelis. Dinanti beberapa hari tak kunjung datang. Ditanya ke sana ke sini tak ada yang tahu.
Hingga datang informasi mulut ke mulut jika guru mereka berada di tempat wanita non Muslim, mengurus ternaknya dan telah menjadi murtad.
Muridnya menyambangi. Benar saja, guru yang juga Ulama besar di daerah tersebut telah berpindah agama. Lalu apa tindakan muridnya?
Kaget? Tidak. Marah? Boro-boro. Mencaci dan menyakiti gurunya? Tidak sedikit pun cercaan dan atau tudingan yang keluar dari lisannya. Lantas?
Murid itu tersenyum. Ia gembira. “Duhai guru, apa kabar?” sapanya dengan lembut. Ulama besar yang pindah agama itu, malu. Ia enggan menatap muridnya. Enggan menyapa balik.
“Siapa kamu. Pergi. Aku tidak kenal,” jawab sang guru. Muridnya tak pergi. Ia malah mendekati. Lalu bersimpuh di kaki gurunya.
“Hari ini aku lebih mencintaimu dibanding hari-hari sebelumnya.” Murid itu melanjutkan:
Guru, dulu engkau mendidik kami jika Allah maha membolak balikkan hati. Dulu engkau mendidik kami tak ada yang bisa diperbuat manusia kecuali atas izin Allah. Engkau ingatkan kami, manusia tempatnya salah dan dosa.
Guru, hari ini apa yang kau katakan dulu, telah terbukti. Hanya Allah yang maha membolak balikan setiap hati manusia. “Kembalilah guru…”
Deg! Dada sang guru terguncang. Beliau menangis. Kembali bersyahadat. Memeluk muridnya. Lantas, kembali ke majlis. Membersihkan diri. Bertaubat.