Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menjelaskan dalam riwayat Abu Dawud:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“Tathayyur adalah syirik, tathayyur adalah syirik, tathayyur adalah syirik”
Tathayyur atau thiyarah berasal dari kata tha’ir yang artinya burung. Dulu, orang-orang Arab jahiliyah ketika hendak bepergian mereka melepaskan burung di depan rumah. Mereka mengamati burung itu, ke mana arah terbangnya. Jika burung itu terbang ke arah kanan, mereka berangkat bepergian. Mereka memiliki keyakinan perjalanannya akan selamat, akan sukses, karena burungnya terbang ke kanan. Sebaliknya, jika burung itu terbang ke arah kiri, maka mereka tidak jadi pergi. Mereka berkeyakinan akan ada kesialan yang terjadi, akan ada kecelakaan atau kebangkrutan jika ia melakukan perjalanan. Sebab burungnya terbang ke kiri.
Hal-hal seperti ini yang tidak dikehendaki Islam. Hal-hal seperti ini yang bisa membahayakan aqidah. Karenanya Rasulullah dengan tegas menghapus thiyarah. Bahkan thiyarah disebutkan sebagai syirik, meskipun tidak otomatis mengeluarkan seseorang dari Islam.
Di masyarakat kita juga ada mitos, ada tathayyur. Pada saat terjadi gerhana seperti ini, sebagian masyarakat –khususnya masyarakat kita waktu dulu- membunyikan kentongan hingga memukul-mukul gebyok (dinding rumah yang terbuat dari papan atau bambu) hingga menimbulkan suara gaduh. Mengapa? Sebab mereka berkeyakinan, gerhana terjadi karena bulan sedang dimakan oleh Butho, bumi juga akan diserang oleh Butho. Dengan suara-suara gebyok itu, Butho takut dan kemudian tidak jadi menyerang bumi.
Ada pula fenomena thiyarah di masyarakat kita. Bukan burung seperti masyarakat Arab jahiliyah memang, tetapi konteksnya sama. Merasa sial dan menggantungkan keyakinan kepada hewan dan benda.
Di kalangan sopir, ada keyakinan begitu. Saat mereka mengendarai mobil, kemudian di jalan melintas garangan (sejenis musang), mereka berkeyakinan itu pertanda. Jika garangan yang melintas itu terus saja menyeberang jalan, maka sopir akan meneruskan perjalanan. Mengapa? Karena garangan menyeberang, pertanda baik. Pertanda perjalanan akan selamat dan membawa keuntungan. Tetapi jika garangan itu ketika sampai di tengah, kembali lagi alias tidak jadi menyeberang, maka sopir tadi berkeyakinan sesuatu yang buruk akan terjadi. Maka ia pun kembali pulang, tidak meneruskan perjalanan. Mungkin di masyarakat yang lain bukan garangan, bukan burung, tetapi hewan lain. Sesungguhnya, bukan pada hewan itu persoalannya, tetapi keyakinan itulah yang berbahaya.