“Jika aku menjual minyak ini, aku bisa berdosa. Jika aku mengembalikan minyak ini kepada pedagang, maka ia pasti akan menjualnya kembali kepada orang-orang dan aku bisa berdosa karena membiarkannya sementara aku tahu minyak ini telah rusak,” kata Ibnu Sirin. Kemudian ia menumpahkan seluruh minyak itu dan menanggung hutang 40.000 dinar.
Tibalah waktu membayar. Sang pemilik minyak itu marah karena Ibnu Sirin tak mampu melunasinya. Lantas ia mengadukan Ibnu Sirin ke penguasa. Ulama kharismatik itu pun dimasukkan penjara.
“Wahai Syaikh,” kata seorang penjaga penjara yang mengetahui kedudukan Ibnu Sirin, “jika malam tiba pulanglah engkau ke rumahmu dan bermalamlah di sana. Jika pagi menjelang, kembalilah ke sini. Lakukanlah begitu hingga engkau dibebaskan.”
“Tidak!” jawab Ibnu Sirin tegas. “Aku tidak akan melakukan hal itu. Jika kulakukan itu, berarti aku membantumu untuk melakukan pengkhianatan.”
Suatu hari terdengar kabar Anas bin Malik wafat. Seseorang datang menghadap Ibnu Hubairah Al Fazari mengabarkan hal itu seraya mengatakan bahwa sebelum Anas wafat, ia berwasiat agar yang memandikannya adalah Muhammad bin Sirin.
Ibnu Hubairah memberikan izin Ibnu Sirin keluar dari penjara, namun Ibnu Sirin menolak meskipun ia sangat ingin bertakziyah kepada sahabat Nabi itu. “Aku tidak akan keluar hingga mendapat izin dari pemilik minyak. Sebab aku berada di sini atas kesalahanku padanya.”
Maka mereka pun mendatangi pemilik minyak itu untuk meminta izin. Setelah mendapat izin dari pemilik minyak itu, barulah Ibnu Sirin mau keluar untuk mengurus jenazah Anas bin Malik. Selesai urusan jenazah, Ibnu Sirin kembali ke penjara, bahkan tak sempat mampir ke rumahnya. [Muchlisin BK/Kisahikmah]