Memang, sifat itu sama sekali tidak menyalahi akhlak Islam. Sungguh anugerah Allah yang luar biasa ketika seseorang bisa tidur dengan cara mudah. Tapi, kok ini mudah banget. Tidak boleh ada angin bertiup sepoi-sepoi, ada tempat buat sandaran kepala, cahaya redup; dan tidur pun datang membawa lelap. Tak kenal siang, apalagi malam.
Itulah sebabnya, Juned belum berani memboncengki isterinya dengan sepeda motor berjarak di atas dua puluh kilometer. Takut ketiduran. Kecuali di hari panas, atau di jalan yang belum beraspal. Mudah tidurnya bisa sedikit tertahan.
Buat sifat yang pertama mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi, yang kedua itu agak merepotkan. Dan di sinilah, kesabaran Juned mesti terus diuji.
Suatu kali, beberapa hari setelah habis masa cuti nikah, Juned pulang agak larut. Arlojinya menunjuk angka dua belasan. Dengan lembut, ia mengetuk pintu depan rumah kontrakannya. ”Assalamu’alaikum!” ucap Juned pelan. Tapi, kok nggak ada reaksi. Suasana rumah tampak masih belum ada tanda-tanda kehidupan. Sepi!
Ia ketuk lagi pintu agak keras. “Assalamu’alaikum!” suaranya berbeda dengan yang pertama. Tapi, respon tetap tak berubah. Hingga beberapa kali ia ulangi langkah satu dan dua, suasana mulai berubah. Akhirnya ada reaksi. Sayangnya, reaksi bukan datang dari dalam rumah. Tapi, dari sekitar rumah. Beberapa tetangga Juned terbangun dan keluar rumah. “Baru pulang, Pak!” ucap mereka agak menyindir. Tidak ada yang bisa dilakukan Juned kecuali senyum yang agak dipaksakan. “Maaf jadi terbangun,” ucapnya ramah.
Diam-diam, Juned memutar ke arah samping rumah. Persis di dekat lubang angin jendela kamarnya, ia berdiam diri. Mungkin, dari tempat itu suaranya bisa didengar sang isteri. “Assalamu’alaikum! Abang, Yang! Assalamu’alaikum!!” ucapnya hati-hati. Tapi, tetap belum ada reaksi.
Saat itulah, Juned teringat dengan akhlak Rasul. Beliau saw. memilih tidur di halaman ketimbang menyusahkan isterinya yang tertidur pulas. “Ah, kenapa aku tidak memilih cara itu,” batin Juned berbisik datar. Ia pun kembali ke halaman depan.