Menangis punya banyak makna buat seorang isteri. Ia bisa sebagai ungkapan kelemahan diri. Bisa juga sebagai ekspresi emosi: cinta, sayang, haru, dan sesal. Tapi tidak jarang juga, menangis cukup ampuh sebagai senjata.
Tiap wanita mungkin pernah menangis. Terlebih seorang isteri. Karena jumlah orang yang dicintai bertambah. Semula cuma satu keluarga, setelah menikah menjadi lebih dari satu keluarga. Semula cuma ayah, ibu, kakak, dan adik. Setelah menikah bertambah pemain-pemain baru: suami, anak-anak, mertua, dan adik-kakak ipar.
Semakin banyak orang-orang yang dicintai, kian bertambah pencetus suka dan dukanya. Dan ujung dari duka, terungkap melalui menangis. Itulah yang pernah dialami Hamnah, isteri sahabat Rasul yang bernama Mus’ab bin Umair. Sebelumnya ia hampir tidak pernah menangis. Tapi, setelah suami tercintanya syahid di medan Uhud, tangisnya tak lagi terbendung. Ia pun menangis di hadapan Rasulullah saw.
Begitu pun dengan problem yang dihadapi. Semakin banyak pemain, kemungkinan terjadi gesekan pencetus masalah kian bertambah. Ada peluang konflik baru antar suami isteri, ibu anak, mertua menantu, dan lain-lain. Tidak jarang, masalah menguras banyak energi dan emosi. Saat itulah, seorang isteri bisa menangis.
Namun, dari semua ungkapan tangis seorang isteri, ada satu yang punya tujuan khusus. Sebagian suami menyebutnya senjata. Setidaknya, kesan itulah yang kini dirasakan Pak Kodir.
Bapak dua anak ini, mau nggak mau, harus mengakui kalau ada yang nggak beres antara dirinya atau isterinya. Pasalnya, dalam seminggu, isterinya bisa nangis satu sampai dua kali. Bahkan pernah, selama tiga hari, isterinya menangis tiap hari. Kejadiannya biasa berulang di malam hari, pas menjelang tidur. Mungkin, waktu seperti itu memang cocok buat nangis. Anak-anak sudah tidur, dan tetangga pun sudah menutup pintu dan jendela rumah rapat-rapat.
Pak Kodir tidak paham kenapa isterinya begitu. Apa yang salah. Uang belanja lancar. Anak-anak sehat jasmani dan ruhani. Tidak satu pun dari dua anaknya yang susah diatur. Mereka begitu aktif dan sportif. Dan Pak Kodir sendiri jarang marah. Kalau tidak perlu-perlu sekali, ia lebih memilih diam daripada marah.
Anehnya, di kalangan tetangga, isterinya dikenal sebagai ibu yang periang. Murah senyum, dan mudah bercanda. Tampaknya, cuma Pak Kodir sendiri yang tahu kalau isterinya sering menangis.
Mungkinkah karena isterinya anak bungsu? Pak Kodir tidak yakin. Banyak wanita bungsu yang menangis tidak seminggu sekali. Paling tidak, setahun sekali di malam Idul Fitri. Ada yang haru karena mendengar gema takbir kemenangan. Ada juga yang mungkin karena tidak punya uang buat bikin ketupat. Wallahu a’lam. Pak Kodir menggeleng pelan.
Pernah Pak Kodir tanya langsung ke isterinya. Jawabannya beda-beda. Pernah dijawab karena kangen sama ibu di kampung. Keinginan pun dituruti. Pak Kodir dan keluarga pulang kampung. Tapi sebulan kemudian, menangis isterinya kambuh lagi. Ketika ditanya, jawabnya karena Pak Kodir sering pulang malam. Mungkin, isterinya agak deg-degan terjaga sendirian di rumah yang agak berjauhan. Konon, kawasan perumahan yang ditinggali Pak Kodir dan keluarga dulunya bekas kuburan.
Pak Kodir berusaha menenangkan. Masalahnya memang bukan ia yang terpaksa pulang malam karena sibuk pekerjaan. Tapi, rasa takut di hati isterinya itu yang jadi persoalan. Pak Kodir menyadarkan isterinya, seorang mukmin tak boleh takut. Kecuali pada Allah saja. Tapi karena menangis isterinya berulang, Pak Kodir pun tidak lagi pulang terlalu malam.
Pernah juga isteri Pak Kodir menangis tanpa sebab. Ketika ditanya, bukan jawaban yang Pak Kodir dapat. Justru, menangisnya yang tambah mantap. Lama Pak Kodir menunggu. Mungkin sampai dua jam. Tidak jelas tapi bisa ditangkap, suara isterinya memberikan jawaban. Rupanya, isteri Pak Kodir cemburu dengan telepon suara wanita yang menanyakan suaminya. Dan telepon itu tidak sekali. Sekitar empat kali. Ketika ditanya, jawabanya singkat, “Dari temannya!”
Pak Kodir pun menjelaskan. Wanita yang telpon berkali-kali itu humas panitia reuni SMA di mana Pak Kodir pernah sekolah. Mungkin Pak Kodir tergolong peserta reuni khusus hingga ditelpon empat kali. Dan ini wajar, karena di SMA dulu Pak Kodir pernah menjabat ketua OSIS. Berangsur-angsur, tangis isteri Pak Kodir pun mulai reda.
Kadang, Pak Kodir bingung sendiri. Kenapa harus dengan menangis. Apa nggak lebih mudah diselesaikan jika masalah diungkapkan dengan bahasa sederhana: bicara. Bukan dengan menangis. Lagi-lagi, apa karena isteri Pak Kodir anak bungsu. Atau, boleh jadi, ada kesenjangan komunikasi antara Pak Kodir dengan isterinya. Dan tidak tertutup kemungkinan, sumber masalah ada di Pak Kodir.
Mungkin tanpa dirasakan Pak Kodir, kalau ia tergolong suami yang sulit diajak ngomong dengan bahasa isyarat. Dengan kata lain, Pak Kodir bukan tergolong makhluk halus. Apa-apa harus serba isyarat kasar. Dan cara menangis adalah salah satunya. Betulkah? Pak Kodir lagi-lagi mengevaluasi diri.
Ia tidak ingin cara menangis menjadi pilihan rutin isterinya. Karena boleh jadi, akan banyak pihak yang terganggu. Dirinya, isterinya sendiri yang tersedot emosi dan energi, anak-anak, dan mungkin tetangga. Bisa jadi, diam-diam mereka menyimpan uneg-uneg karena tidak bisa tidur, terganggu suara tangis isteri Pak Kodir.
Benar saja. Seorang tetangga menghampiri Pak Kodir. Dengan setengah berbisik, ia menceritakan sesuatu yang sepertinya menakutkan. “Pak Kodir, saya yakin memang benar kalau di sekitar rumah Bapak angker.” Belum sempat Pak Kodir memberikan komentar, sang tetangga meneruskan, “Bayangkan, Pak. Hampir tiap malam Jumat, semua tetangga sering mendengar suara wanita menangis! Hi, seram!”