Tak semua pohon mampu berbuah. Ada yang hanya menawarkan keindahan melalui bunga. Ada yang cuma menghadiahi keteduhan dan kesegaran. Ada juga yang hanya memberikan khasiat mujarab dari akar, batang, atau daunnya. Masalahnya, tak semua manusia seperti mereka.
Di antara buah dari pohon perkawinan adalah anak. Anaklah yang menghias perkawinan menjadi teramat indah. Di situlah ada harapan, tantangan, ujian, bahkan hiburan. Indahnya menatap senyum anak. Dan sedemikian prihatinnya mendapati tangis anak. Senyum dan tangisnya kian membuat ikatan pernikahan menjadi lebih kuat.
“Ah, bahagianya kalau punya anak,” ucap Pak Karno membatin. Bapak usia tiga puluhan ini lagi-lagi menakar harap. Kadang ia sedih karena putus asa. Kadang bangkit ketika mendengar nasihat teman-temannya.
Mungkin, bisa dibilang wajar ia sedih. Entah sudah berapa cara telah ditempuh. Mulai cara medis, terapi alternatif, hingga ramuan tradisional telah dicoba. Tapi, hasilnya belum menggembirakan. Sebelas tahun sudah ia berumah tangga. Selama itu, kesibukan rumah tangganya tak bergeser dari pengobatan buat dapat anak.
Kalau saja anak kandung bisa dibeli, berapa pun akan dibayar Pak Karno. Itulah yang bikin Pak Karno tak peduli soal biaya pengobatan. Entah berapa puluh juta sudah keluar, tapi hasilnya masih nihil. Hari-hari yang paling menggembirakan Pak Karno cuma satu: ketika isterinya telat datang bulan. Sayangnya, bulan tinggal telat, tapi cikal bakal anak tak juga terlihat.
Kalau melihat kesibukan tetangganya di pagi hari, Pak Karno seperti berada di dunia lain. Terlihat dari balik jendela bagaimana tetangganya sibuk mengantar anak-anak ke sekolah. Sementara sang ibu dengan penuh kasih sayang menimang sang bayi. Senyum selamat jalan merekah dari sang isteri ke suami. “Ah, betapa bahagianya mereka,” tak sadar suara lirih mengalir ringan dari bibir Pak Karno.
Entah siapa yang paling mesti dikasihani. Ia atau isterinya. Pak Karno pernah merasa kalau dirinyalah yang paling tersiksa. Ia tak punya keturunan. Ia akan sendiri ketika tua. Dan tak ada satu generasi pun yang akan melanjutkan cita-citanya. Tak ada satu anak pun yang akan dinasabkan atas namanya. Nama Pak Karno akan tenggelam setelah usianya berakhir.
Itulah yang bikin Pak Karno merasa lebih menderita dibanding isterinya. Tapi, perkiraan itu bisa berubah ketika mencermati perasaan isterinya. Mungkin, ia bisa lepas dari kungkungan itu ketika bertemu teman-teman kantor. Bayang-bayang buruk Pak Karno akan menepi sebentar saat kesibukan kantor memburunya. Tapi, gimana dengan isterinya. Pengalihan-pengalihan itu tak dimiliki sang isteri.
Isteri Pak Karno bukan jenis pegawai kantoran. Bukan juga tipe wanita yang begitu terobsesi dengan karir. Ia wanita biasa yang punya cita-cita luar biasa: ingin sukses seratus persen mengelola rumah tangga. Jadi, nggak ada teman lain kecuali Pak Karno. Tak ada tempat mencurahkan rasa kecuali suaminya. Dan, hal itulah yang akhirnya membuat Pak Karno tersadar tentang isterinya. Ia tak lagi heran ketika isterinya mulai aktif di masyarakat.
Dan satu hal yang bikin Pak Karno lebih prihatin pada isterinya: dokter pernah bilang kalau ketidaksuburan ada di isteri. Saat itulah Pak Karno mesti rela menyaksikan isterinya menangis. Kadang Pak Karno harus menerima ketidakstabilan emosi isterinya. Isterinya menjadi lebih perasa. Mudah marah. Dan tak jarang memperlihatkan diri seperti orang yang tak memiliki gairah hidup. Lesu.
Hingga suatu hari, isteri Pak Karno berujar pelan. “Mas mau kawin lagi?” tanya sang isteri tanpa menatap wajah suaminya. Pandangannya tertunduk ke bawah. Ia seperti pasrah. Menerima kenyataan kalau dirinyalah sumber masalah.
Pak Karno tak menjawab. Ia bingung mesti bilang apa. Ia seperti dihadapkan dua masalah sekaligus. Masalah bagaimana mendapatkan anak. Dan, masalah keharmonisan hubungannya dengan isteri. Ia tidak ingin sepinya celoteh dan tangis anak menjadi lebih sepi lagi dengan dinginnya sang isteri terhadap dirinya.
Pak Karno yakin kalau pertanyaan isterinya punya makna lain. Dan makna itulah yang memperlihatkan betapa jika Pak Karno salah langkah, akan kehilangan sesuatu yang selama ini bersamanya: kebersamaan isteri yang begitu setia. Sebuah kebersamaan yang utuh. Bukan cuma fisik, tapi juga rasa dan emosi.
Ia tersadar dengan suatu hal. Sebelas tahun bukan waktu yang sebentar buat terjalinnya dua emosi yang berbeda. Selama itu, tak satu pun sepak terjang isterinya yang tak mengenakkan. Dan selama itu pula, tak pernah terbersit dalam pikiran Pak Karno untuk menyakiti isterinya. Walau cuma dengan wajah cemberut.
Pak Karno terkenang dengan sejarah Islam yang pernah ia baca. Mungkin, seperti itulah perasaan Aisyah terhadap Rasulullah ketika beliau saw. begitu menjaga perasaan isterinya. Apa yang kurang dari Aisyah: cantik, cerdas, salehah, dan begitu taat dengan suami. Hanya satu yang tak mampu diberikan Aisyah buat suami tercintanya: anak. Walaupun perkawinan hampir berjalan sepuluh tahun. Dan walaupun, keduanya adalah hamba-hamba Allah yang teramat saleh. Siapa yang lebih saleh melebihi Rasulullah saw. Tapi, beliau saw. pun harus menerima kenyataan bahwa Aisyah tak bisa memberinya anak.
Sebuah pelajaran menarik untuk ia renungkan. Di satu sisi, ia memang butuh kehadiran anak. Tapi di sisi lain, penghargaan buat orang yang selama ini begitu baik pun harus tetap terawat. Teramat zhalim kalau ia mampu meraih sesuatu dengan mengorbankan rasa orang lain. Terlebih orang lain itu adalah wanita yang telah membuktikan cinta dan kesetiaannya.
Mungkin, masih ada cara lain buat dapat anak. Dan cara itu mesti terlahir dari ungkapan ridha Pak Karno dan isterinya. Pak Karno memang tak mau berputus asa. Tapi, ia pun tak mau memutus asa isterinya. Biarlah sesuatu yang akan ia dapatkan akan terus ia usahakan. Tanpa harus melepas sesuatu yang telah ia pegang. Bersama kesukaran pasti ada kemudahan. “Insya Allah!” tekad Pak Karno bulat.
Memang, tak semua pohon bisa berbuah. Tapi, akan ada buah-buah dalam bentuk lain yang diperlihatkan sang pohon. Hingga, tak sedikit pun keindahan dan keserasian alam terusik dengan ketidakmampuan itu.