Berkeluarga kadang seperti belajar seni berkomunikasi. Dari keluarga orang bisa belajar mengungkapkan maksud, mendengar, dan menangkap isyarat. Walaupun terkadang, mendengar jauh lebih sulit dari bicara.
Keluarga mana pun selalu mendambakan sebuah kehidupan yang harmonis. Tak ada saling berahasia. Dan, tak ada kendala mengungkapkan uneg-uneg hati. Semua serba plong!
Sayangnya, tidak semua keadaan selalu mendukung. Ada saja problem menghadang. Bisa dari suami, isteri, anak, atau bahkan mertua. Hal inilah yang kini dialami Bu Nuni.
Pengantin baru ini boleh dibilang sangat beruntung. Walau baru beberapa pekan menikah, urusan rumah sudah tak jadi masalah. Soalnya, ayah mertua Bu Nuni meminta dengan amat sangat agar Bu Nuni tinggal di rumahnya. Tak perlu repot-repot mikirin biaya listrik, telepon, air, dan pembantu. Semua sudah tersedia.
Permintaan itu bisa dibilang wajar. Soalnya, tak ada lagi yang bisa menemani bapak usia tujuh puluhan itu. Isteri sudah meninggal, anak-anak pun sudah pisah rumah. Tinggal si bungsu yang tak lain adalah suami Bu Nuni. Mau tak mau, Bu Nuni dan suami mesti mau. Selain karena ingin berbuat baik pada orang tua, sarana pun sudah disediakan. "Nggak baik nolak rezeki, Ni," ucap seorang teman Bu Nuni suatu kali.
Selain itu, mertua Bu Nuni pun tergolong ayah yang baik. Ia begitu perhatian pada anak dan cucu-cucunya. Hampir tiap hari, kakek yang sudah kurang dengar ini selalu menanyakan keadaan anak dan cucu-cucunya. Yang jauh lewat telepon. Yang dekat dikunjungi langsung. Termasuk juga Bu Nuni dan suami.
Tiap malam, ayah mertua Bu Nuni selalu menanyakan kepulangan anaknya. "Suamimu udah pulang, Ni?" teriak si ayah dari balik pintu kamar. "Sudah, Yah!" jawab Bu Nuni spontan. "Hah? Sudah pulang belum?" ucap ayahnya lagi. Bu Nuni pun segera keluar kamar. "Sudah, Yah! Lagi di kamar mandi!" ucap Bu Nuni sambil memberi isyarat dengan anggukan kepala. "Oh, sudah!" suara ayah mertua Bu Nuni sambil berlalu menuju kamarnya.
Begitu pun ketika pagi. Selepas pulang dari masjid, ayahnya selalu menuju kamar Bu Nuni. "Ni, kamu udah bangun?" teriak ayah mertua Bu Nuni dari balik pintu kamar. "Sudah!" jawab Bu Nuni agak berteriak. "Hah, udah belum?" teriak sang ayah lagi. Dan Bu Nuni pun segera keluar. "Sudah, Yah!" ucap Bu Nuni masih mengenakan mukena.
Yang menarik dari ayah mertua Bu Nuni, ia selalu cerita soal politik. Mulai dari kiprah orde lama, orde baru, hingga zaman reformasi. "Ayah ini dulu aktivis masyumi, Ni!" ucapnya mengawali cerita. Kalau sudah begitu, obrolan tak lagi dua arah. Jika dilihat dari jauh, Bu Nuni seperti sedang mendengar ceramah. Penceramahnya tunggal, dan temanya pun itu-itu saja: politik!
Kalau sudah begitu, Bu Nuni jadi serba salah. Mau terus mendengarkan, sangat membosankan. Kalau ditinggalkan, ia kasihan. Bu Nuni merasa kalau suasana seperti itulah hiburan yang paling cocok buat ayah mertuanya. Sang ayah jadi tidak kesepian, dan selalu ada yang menghargai.
Hingga suatu kali, Bu Nuni ingin memasak sesuatu yang istimewa: sayur asem, tempe mendoan, gorengan ikan asin, lalapan lobak, dan sambal terasi. Setidaknya, istimewa buat Bu Nuni ketika tinggal di kampung. Tapi, ia bingung soal terasi. Apa ayah mertuanya suka dengan terasi?
Untuk soal itulah, Bu Nuni menemui ayah mertuanya. Ia sedang asyik menyaksikan berita di pesawat televisi. Sesekali, kepalanya mengangguk pelan. Hampir-hampir saja, kehadiran Bu Nuni tidak ia sadari.
"Yah! Ayah!" ucap Bu Nuni agak berteriak. Tangannya melambai-lambai. Padahal, jarak antara Bu Nuni dengan ayah mertuanya cuma dua meter. "Eh, kamu, Ni. Kamu manggil aku?" tanya ayah mertua Bu Nuni mulai sadar. Bu Nuni mengangguk.
"Ayah suka terasi?" ucap Bu Nuni lagi agak keras. "Hah?" sambut sang ayah dengan berteriak. "Terasi!" ucap Bu Nuni lebih keras. Entah kenapa, ayah mertua Bu Nuni tiba-tiba terdiam. "Menurut ayah, sebaiknya jangan! Kasihan rakyat…," ucap sang ayah tiba-tiba.
Kali ini, Bu Nuni benar-benar bingung. Apa hubungannya terasi dengan rakyat. "Dengan cara itu, dulu masyumi pernah dikhianati. Apalagi zaman sekarang. Bahaya!" tambah ayah mertua Bu Nuni lebih serius.
Lagi-lagi Bu Nuni tidak paham. Kok, terasi bisa nyantol ke masyumi. "Terasi, Ayah! Terasi!" teriak Bu Nuni mulai tak sabar. Soalnya, gorengan tempe mendoannya bisa gosong. Tapi, yang diteriaki tetap saja diam. Kemudian, ia menggeleng sambil menatap ke Bu Nuni.
Saat itulah, Bu Nuni terpikir sesuatu. Ia segera mengambil secarik kertas. Bu Nuni menulis besar-besar di kertas itu: ayah suka terasi?
Setelah membaca, ayah mertua Bu Nuni pun tersenyum. "Oh, terasi! Ayah kira koalisi!" ([email protected])