Berkeluarga kadang seperti menyelami dunia ghaib. Ada, tapi tak terlihat. Terlihat, tapi tak tersentuh.Tersentuh, tapi tak terasa.Sehingga, mereka yang berkeluarga bisa melihat, menyentuh, dan merasakan sesuatu yang benar-benar baru.
Semua manusia punya kecenderungan untuk berbagi dalam hidup bersama pasangannya. Buah dari kecenderungan ini pun menumbuhkan pohon baru yang kelak akan menghasilkan buah yang juga baru.
Di antara buah baru yang tumbuh adalah anugerah Allah berupa kehamilan. Inilah mungkin puncak dari sekian banyak rasa di hati suami isteri. Ada harap, was-was, keingintahuan, cinta,bingung, dan mungkin juga penasaran.
Kadang, semua rasa itu terkumpul dalam satu wadah emosi wanita hamil yang begitu unik. Orang pun menyebutnya ngidam. Hal itulah yang kini kerap dirasakan Bu Lia.
Calon ibu muda ini benar-benar merasakan sesuatu yang baru dalam hidupnya. Sesuatu yang tidak bisa dipelajari dari kursus, sekolah, bahkan pengajian sekali pun.
Memang, ia pernah mendengar cerita-cerita soal ngidam. Baca buku tentang tema itu juga sudah beberapa kali. Tapi, kenyataan benar-benar jauh dari yang pernah didengar dan dibaca. Sungguh, ngidam buat Bu Lia menjadi sesuatu yang benar-benar unik dan menarik.
Bersamaan dengan perutnya yang mulai membuncit, ada perasaan baru yang hinggap dalam emosinya. Bu Lia agak lebih sensi: gampang tersinggung, dan jadi manja ke suami.
Sebenarnya, yang diidamkan Bu Lia tergolong baik. Bukan sekadar makanan unik yang cuma nyangkut di lidah. Bukan juga hal-hal aneh yang nggak masuk akal. Tapi, sangat berkait dengan ibadah.
Entah kenapa, Bu Lia selalu ingin salat di masjid yang menurutnya sangat menarik dikunjungi. Bisa karena arsitekturnya, ukuran, atau hal lain yang unik. Dan ketertarikan itu bisa muncul hanya melalui gambar atau sekadar omongan dari orang lain.
Kalau ketertarikannya muncul, calon ibu yang berdomisili di kawasan perkampungan ini pun memohon dengan sangat ke suaminya. Bu Lia minta supaya diantar ke masjid yang ia inginkan. Dengan cara apa pun, pokoknya, ia harus bisa melihat, masuk, dan salat dua rakaat di masjid itu. Setelah itu, pulang.
Pernah suatu kali, seorang tetangganya baru pulang dari pasar di kota. Tetangga Bu Lia menceritakan bagaimana ramainya pasar itu. ”Wah, pasarnya benar-benar enak, Bu. Sejuk. Tidak panas seperti di kampung kita!” ucap tetangga Bu Lia antusias.
“Masjidnya gimana?” sergah Bu Lia tiba-tiba. Sang tetangga agak bingung. Soalnya, ia sedang cerita pasar. Lha, kok nyambungnya ke masjid. ”Wuih, masjid agungnya juga bagus, Bu. Besar sekali! Saya juga lewat situ,” sambung sang tetangga tidak kalah antusias.
Beberapa menit setelah sang tetangga pulang, Bu Lia pun minta diantar ke masjid agung kota. Padahal, hari sudah menjelang sore. Tapi, karena desakan yang begitu kuat, suami Bu Lia pun terpaksa mengantar isterinya menuju masjid agung di kota.
Setibanya di pintu gerbang masjid, Bu Lia berdiri mematung. Wajahnya begitu tenang seperti memandang taman bunga. Kekagumannya benar-benar melupakan rasa lelahnya yang menempuh perjalanan hingga hitungan jam. ”Masuk, yuk Mas!” ucap Bu Lia sambil menggamit tangan suaminya. Setelah salat dua rakaat, ia pun minta pulang.
Beberapa hari pun berlalu. Ngidam Bu Lia sempat vakum. Hingga suatu hari, ia menikmati pemandangan adzan maghrib di sebuah stasiun televisi. Beberapa tayangan tentang masjid mengiringi alunan kumandang adzan yang begitu syahdu. Dan, salah satu masjid tiba-tiba jadi bidikannya.
”Oh, itu Masjid Istiqlal!” ucap suami Bu Lia setelah sang isteri menanyakan. Seperti biasa, Bu Lia pun memohon dengan sangat untuk diantar ke masjid pilihannya itu. ”Itu jauh sekali, Dek. Itu di Jakarta. Bisa sehari semalam dengan bus,” jelas suami Bu Lia menunjukkan keberatannya. Tapi, karena desakan yang begitu kuat, sang suami pun menurut. ”Ini anak pertama, lho Mas!” bujuk Bu Lia menguatkan.
Setelah susah payah, Bu Lia dan suami pun tiba di Masjid Istiqlal Jakarta. Seperti biasa, usai salat dua rakaat, Bu Lia dan suami kembali pulang.
Di suatu pagi yang cerah, suami Bu Lia mengajak isterinya menjenguk Pak Kades dan isteri yang baru saja pulang haji. Suara letusan petasan sudah terdengar di sepanjang perjalanan. ”Cepat jalannya, Dek. Nanti keduluan orang-orang!” ucap suami Bu Lia begitu bersemangat.
Bu Lia dan suami mendapati Pak Kades dan isteri yang masih berpakaian putih-putih. Wajah keduanya masih menampakkan rasa lelah. Setelah bersalaman, Bu Kades pun berujar, ”Waduh Nak Lia. Masjid Haram itu benar-benar indah, lho. Wuih, pokoknya indah sekali!”
Saat itu juga, wajah suami Bu Lia tiba-tiba pucat. Ia tidak bisa membayangkan kalau setiba di rumah nanti, isterinya maksa minta diantar ke masjid di tanah suci Mekah itu. Hanya untuk salat dua rakaat. ([email protected])