Enaknya jadi menantu baru. Semuanya jadi serba baru. Anggota keluarga baru, suasana rumah baru, perabot baru. Dan satu lagi yang tergolong rezeki nomplok, pelajaran, perhatian dan kasih sayang dari orang tua baru.
Itulah yang dirasakan Sri. Seminggu sudah masa lajangnya berlalu. Kenikmatan yang Sri terima dari Allah kian membesar. Sudah dapat suami saleh, dapat mertua penyayang. Wah, benar-benar berkah.
Selama seminggu itu, Sri seperti jadi ratu. Semuanya serba dilayani. Mulai dari cuci pakaian, masak, beres-beres rumah, hingga urusan kebersihan kamar Sri sendiri. Semuanya diurus ibu mertua.
Sebenarnya, pembantu di rumah mertua Sri cuma satu. Usianya pun sudah setengah baya. Tapi, karena tekanan dari ibu mertua, si pembantu jadi serba luar biasa. Kerjanya cekatan, tekun, teliti, dan serba bisa. Sebentar-sebentar terdengar teriakan ibu mertua, “Yem, mejanye bedebu, nih. Ubinnye udah dipel belom. Makanan buat Sri udah disiapin belom?”
Betawi. Yah, itulah jodoh Sri. Gadis asli Solo ini dianugerahi Allah jodoh pemuda asli Betawi. Tulen. Walau arsitektur rumah berserta perabotnya sudah moderen, suasana kampung Betawi masih sangat terasa. Semua anggota keluarga berinteraksi satu sama lain layaknya lenong Betawi. Dialognya, egaliternya, perilakunya, kepolosannya, hingga sebutan benda-benda di sekitar rumah. Suatu hal yang super baru buat Sri.
Pasalnya, Sri memang sama sekali belum bergaul dengan dunia Betawi. Dari bayi hingga sudah punya cita-cita ingin punya bayi, dunianya murni Solo. Lembut, santun, ramah, dan serba halus. Suatu hal yang hampir bertolak belakang dengan Betawi. Kadang, Sri senyum-senyum sendiri. “Subhanallah. Mungkin Allah mau mengajarkan saya soal persaudaraan Islam,” ucap Sri dalam hati.
Waktu di Solo, ada teman Sri yang cerita soal orang Betawi. “Aduh, Sri. Kamu harus sabar, lho! Orang Betawi itu kasar!” ucap sang teman ketika tahu calon suami Sri. Dan, itu memang terlihat pada sekilas sosok sang calon. Padahal, calon suami Sri kuliah di Solo. Bertahun-tahun tinggal di Solo, pembawaan tetap asli Betawi. Itu terlihat ketika awal proses pernikahan. Sri sempat kaget dengan ucapan sang calon. “Gimana, Sri mau nerima saya nggak jadi suami?” suara calon suami Sri enteng. Kontan saja, Sri jadi deg-degan. Mau jawab apa.
Ketika proses lamaran calon mertua pun, Sri sempat dibikin kaget. Waktu itu, calon mertua Sri berkunjung ke rumah Sri di Solo. Selain melamar, mereka mau kenalan dengan Sri. Ini dipandang perlu, karena mereka kenal Sri cuma lewat foto. Itu pun cuma sebagian badan dan kepala. Terang saja, calon mertua Sri jadi sangat penasaran.
Ketika berkunjung, ternyata bukan cuma orang tua calon suami Sri saja yang ingin melihat. Hampir seluruh anggota keluarga dekat calon mau ikut melihat. Dan sepertinya, mereka sangat kompak penasaran. “Yang mane, sih calonnye. Yang mane?” ucapan itu menggaung-gaung di telinga Sri. Hampir semua yang datang berucap itu. Ketika bapak memperkenalkan Sri ke para tamu, serempak suara-suara kembali menggaung. “Oh itu! Cakep, ye. Item manis!”
Kini, Sri mulai paham tentang Betawi. Dan Sri jadi sangat yakin kalau ucapan sang teman salah. Betawi memang terlihat seperti kasar. Tapi, itulah bentuk kejujuran, dan kesupelan mereka dalam berinteraksi. Dalam kamus Betawi, tidak ada istilah sungkan. Kalau benar, ya dibilang benar. Dan kalau salah, mereka menyatakan apa adanya. Kepada siapa pun. Walaupun terhadap orang tua sendiri. Semuanya serba to the point.
Di masa-masa penyesuaian itu, Sri belajar banyak pada suami. Mulai dari budaya, perilaku, dan juga bahasa. Sang suami mengajarkan Sri soal istilah sehari-hari. “Sri, kalau lu itu artinya kamu. Dan kalau aye artinya saya. Jangan salah, ya, Sri,” ucap suami suatu kali.
Pernah suatu kali, Sri sedang masak kue. Lagi asyik-asyiknya masak, tiba-tiba ibu mertua Sri muncul dari balik pintu dapur. “Eh, mantu lagi masak. Bikin ape, tu?” kata ibu mertua sambil menghampiri Sri.
Yang ditanya belum juga menjawab. Justru bingung. Sri bingung mesti jawab apa. Pasalnya, ia sedang masak kue bolu. Ia ingat betul dengan ucapan sang suami tentang istilah Betawi. Lu itu artinya kamu. Kalau ia sebut nama kue itu apa adanya, Sri yakin ibu mertuanya pasti tersinggung. Jadi, mesti bilang apa?
Sri jadi gugup. Keringat dingin mulai membasahi jilbabnya. Aduh, bilang apa, ya. “Tu, lu bikin kue ape?” tanya mertua sekali lagi. “Anu, Nyak. Hmmm….” Sri makin gugup. “Kue..kue…kue bol aye, Nyak!” ucap Sri hampir tak terdengar. Ibu mertua Sri tampak terbelalak. “Kue ape?” tanyanya lagi.
Pernah juga Sri dibikin shock sama ayah mertuanya. Persoalannya sebenarnya sederhana. Yaitu, soal buang angin atau kentut. Buat Sri, kentut itu sudah merupakan barang sangat tabu. Jangankan bersuara, tanpa suara saja sudah sangat memalukan. Terlebih saat berada di tengah orang banyak. Tapi, hukum itu tidak berlaku buat babe, ayah mertua Sri.
Suatu kali, ketika keluarga dekat suami ingin kenal lebih dekat dengan Sri, babe ikut bergabung. Silih berganti pembicaraan meletup-letup dari mulut yang satu ke yang lain. Dan suara tawa pun meledak. Posisi duduk para tamu pun tidak beraturan. Ada yang di bangku, di lantai, angkat kaki, dan lain-lain. Cuma babe yang bersila di atas bangku. Kadang, ucapan-ucapan humornya membuat suasana jadi akrab. Sebagai menantu yang baik, Sri duduk bersebelahan dengan babe. Sesekali, Sri menimpali kelucuan-kelucuan babe dengan senyum manis.
Tiba-tiba, di luar dugaan Sri, suara nyaring meletus dari arah bawah babe, “Tuuuut!” Spontan, wajah Sri memerah. Ia seperti menahan marah. Tapi, di luar dugaannya pula, tak satu pun para tamu yang bereaksi. Mereka seperti tidak mendengar apa-apa. Padahal, suara itu teramat nyaring. Dan obrolan pun terus bergulir lancar. Cuma Sri yang gelisah. “Aduh, kok tega babe begitu sama mantunya sendiri,” suara Sri dalam hati. Hampir saja, ia pergi ke kamar untuk menangis.
Sri kadang dibuat malu sama mertua. Pasalnya, ketika sanak keluarga suami berkunjung, selalu saja Sri dibangga-banggakan. “Nih, mantu kesayangan gue. Sekolenye tinggi. Orang pinter tuh, die!” ucap babe tanpa beban. Saat itu, wajah Sri berwarna-warni bagaikan pelangi. Malu.
Pernikahan memang mengajarkan banyak hal buat Sri. Salah satunya adalah kemampuan penyesuaian. Kalau ke keluarga saja tidak mampu adaptasi, gimana dengan orang lain. Dan untuk yang satu ini, Sri benar-benar dibuat kerja keras. Bagaimana pun juga, mereka adalah orang tua suami. Dan itu berarti orang tua Sri juga. Tanpa kurang sedikit pun.
Jadi menantu baru memang membuahkan hal baru. Selain keberkahan baru, tentu saja, tantangan baru. Dan ini berarti perjuangan baru.