Menanti Bayi


Menanti kelahiran bayi kadang seperti menunggu hujan. Harap dan cemas menyatu. Berkali-kali datang awan mendung, tapi yang dinanti tak kunjung datang. Bedanya dengan hujan, kelahiran kadang datang tanpa menunggu mendung.

Tak ada peristiwa yang mampu menyentak urat bahagia pasangan suami isteri selain datangnya tanda kelahiran. Terlebih buat kelahiran bayi pertama. Tanda-tanda menjadi begitu berarti. Bahkan sakral.

Mulai dari telat haid, suami isteri seperti dibuai pesona bahagia. Angan-angan melayang jauh. Cita-cita pun tergantung di banyak titik. Seperti apa bahagianya bertemu dengan buah hati tercinta.

Begitu pun ketika tes kehamilan menunjuk tanda positif. Kebahagiaan makin menjadi. Walau mesti menempuh jalan ngidam yang lumayan susah, calon ibu tetap menebar senyum bahagia. Walau harus kerja rangkap sebagai pengurus rumah, calon ayah akan tetap bersemangat.

Hari berganti minggu, minggu pun melewati bulan. Dan, kehamilan tinggal menunggu hari. Anehnya, justru di penantian yang tak lama lagi itulah, harap terkalahkan cemas. Bahagia berganti gelisah. Setidaknya, suasana rasa itulah yang kini dialami Pak Gono.

Enam tahun sudah bahtera rumah tangga Pak Gono melaju. Sungguh waktu yang tergolong lama buat penantian sang buah hati. Tapi kini, penantian tinggal menunggu saat-saat terakhir. Beberapa hari lagi, isterinya akan melahirkan anak pertama. Setidaknya, perkiraan itulah yang terucap dari seorang bidan. “Tinggal nunggu hari, Pak. Sebaiknya dijaga dua puluh empat jam!” ucap sang bidan beberapa hari lalu.

Kini, Pak Gono benar-benar sibuk. Bukan sibuk mengurus pekerjaan. Bukan pula mengurus rumah. Sibuknya sama sekali tak terlihat. Hati dan pikirannyalah yang saat ini terus bekerja menampung harap dan cemas. Bagaimana proses melahirkan isterinya. Normalkah? Seperti apa bayinya kelak. Sehatkah, atau? Silih berganti, keduanya menguras konsentrasi Pak Gono.

Terlebih ketika tanda-tanda kelahiran timbul tenggelam. Pernah di suatu malam, isterinya mengeluh sakit perut. Jam menunjuk angka dua. Rumah bidan lumayan jauh. Kendaraan yang ada cuma motor. Waduh, mau bagaimana. Terpaksa, isterinya dibonceng dengan motor. Harapan Pak Gono cuma satu: jangan lahir di jalan!

Dan doa Pak Gono pun terkabul. Isterinya tak melahirkan di atas motor. Juga tidak di rumah bidan. Karena Bu Bidan meminta Pak Gono dan isteri pulang. “Wah, masih lama. Cuma kontraksi!” ucap sang bidan sambil menahan kantuk. Awalnya, Pak Gono menolak. Ia khawatir kejadian itu terulang ketika tiba di rumah. Tapi karena penjelasan dari sang bidan, Pak Gono mulai paham.

Dari penjelasan itulah, Pak Gono ngerti kalau tanda kelahiran itu tidak satu: mulas atau sakit perut. Tapi, ada tanda-tanda lain. Ada mulas yang semakin sering, keluar cairan, bahkan tidak tertutup kemungkinan darah. Kalau itu yang terjadi, kelahiran cuma berputar pada hitungan jam.

Sebenarnya, kalau bisa memilih, Pak Gono lebih nyaman tinggal bersama isteri di rumah bidan. Tapi karena ruang inap yang sangat terbatas, Pak Gono mesti ngalah dengan pasien lain yang siap mbrojol. Kalau di rumah sakit repot. Selain biayanya lebih mahal, lokasinya juga sangat jauh. Yang bisa dilakukan Pak Gono cuma satu: siap siaga. Walaupun itu harus ditebus dengan cuti panjang selama hampir satu bulan. Bahkan, kalau perlu berhenti kerja.

Semua itu dilakukan Pak Gono demi isteri dan calon buah hati. Sekian tahun tenggelam dalam penantian, kini bagaimana mungkin anugerah itu akan disia-siakan. Cita-cita memang harus ditebus dengan pengorbanan. Syukurnya, tahun-tahun penantian itu memberikan peluang Pak Gono dan isteri bisa menabung lebih banyak. Ia siap kalau harus ke rumah sakit.

Kejadian malam lalu terulang lagi. Isteri Pak Gono mulas. Kali ini lebih mulas dari sebelumnya. Jam menunjuk angka tiga. “Kamu benar-benar mulas, Dik?” tanya Pak Gono. Isterinya cuma mengangguk sambil meringis menahan sakit. “Apa ada cairan?” tanyanya lagi. Kali ini, isterinya menggeleng. Pak Gono mulai ragu. Tapi, karena kasihan, bapak usia tiga puluhan ini pun menyiapkan kendaraan menuju rumah bidan.

“Masih lama?” tanya Pak Gono memastikan. Pak Gono hampir tak percaya dengan penjelasan Bu Bidan. Bagaimana mungkin orang sudah kesakitan masih belum bisa melahirkan. Setelah diperiksa ulang, Pak Gono dan isteri dipersilakan pulang.

Ucapan Bu Bidan memang benar. Kesimpulan itu meluncur dalam benak hati Pak Gono setelah melihat isterinya yang sudah seperti biasa. Sehari setelah ke bidan, isteri Pak Gono sibuk-sibuk seperti biasa: masak, nyapu lantai, bahkan siap mencuci pakaian. Kalau saja tidak dicegah Pak Gono, kesibukan ketiga sudah dilakukan isterinya. “Ndak usah. Biar aku saja!” ujar Pak Gono cekatan.

Saat itulah Pak Gono baru bisa berpikir tenang. Dengan agak keras, ia membaca Alquran. Sesekali, ia menatap keadaan isterinya yang masih terlihat sibuk mondar-mandir menata perabot rumah. Entah kenapa, tiba-tiba hatinya merasa tidak enak. Ia tidak menemukan isterinya di ruang depan. Kemana?

Pak Gono tersentak ketika suara merintih terdengar dari balik kamar. “Dik?” suara Pak Gono sambil bergegas menuju kamar. Ternyata di kamar, isteri Pak Gono sedang menggelepar-gelepar kesakitan. Bukan hanya tanda mulas yang kelihatan kian jelas. Tapi cairan dan darah pun sudah membasahi pakaian dan sprei. Yang paling bikin panik Pak Gono, suara isterinya yang terus berucap, “Mau keluar, Mas! Bayinya mau keluar!”

Sambil siap-siap mengurus kelahiran, Pak Gono berteriak ‘tolong’. Beberapa tetangga berdatangan. Sebagian besar ibu-ibu. Mereka langsung membantu proses kelahiran dengan alat seadanya. Suatu hal yang tak diduga Pak Gono sebelumnya: ia tak kuat melihat darah. Saat itu juga, ia pingsan.

Setelah siuman, Pak Gono menemukan keadaan rumahnya agak lain dari biasa. Beberapa ibu tetangga terlihat mondar-mandir dari kamar ke dapur, dapur ke kamar. Seorang ibu mendekati Pak Gono. “Pak, selamat. Ibu dan bayinya sehat!” ucap ibu itu sambil senyum. “Alhamdulillah!” sambut Pak Gono sambil terhuyung menuju kamar di mana isteri dan bayinya tinggal. ([email protected])