Potret keluarga kadang mirip tanah di kawasan pegunungan. Nyaris, tak ada tanah di sana yang rata sempurna. Kalau tidak miring ke kiri, tanah menanjak ke kanan. Kalau pun tampak rata, beberapa bagiannya menonjol karena bebatuan yang tertanam. Dan tonjolan pada tanah keluarga adalah adanya perbedaan rasa.
Tiap orang ingin punya keluarga yang sempurna. Ada suami, isteri, anak-anak, tempat tinggal, dan kesejahteraan lahir dan batin. Tapi, tidak semua yang diinginkan bisa muncul dalam kehidupan nyata. Ada saja kekurangannya.
Di antara kekurangan itu, ada suami, ada isteri, ada anak-anak, tapi tak ada tempat tinggal alias pondok mertua indah atau kontraktor. Ada juga bentuk lain: ada tempat tinggal, ada kemapanan ekonomi, ada suami, ada isteri, tapi belum juga dikaruniai anak. Keadaan terakhirlah yang kini dirasakan Pak Yanto.
Empat belas tahun sudah, suami yang juga aktivis partai politik ini mengarungi bahtera rumah tangga. Selama itu, ia dan isteri tercintanya seperti berada di sebuah kapal besar tanpa penumpang. Sepi. Di ruang tamu bertemu isteri, di kamar bersama isteri, di dapur dengan isteri; di mana-mana di seluruh ruangan rumahnya yang ia jumpai selalu isteri. Bosan?
“Sama sekali tidak,” jawab Pak Yanto ketika seorang temannya mencari kepastian. “Pernikahan saya dengan isteri sangat bersejarah. Benar-benar pengalaman hidup yang sulit terlupakan,” tambah Pak Yanto mengungkapkan isi hatinya yang paling dalam.
Persoalannya cuma satu: bagaimana supaya bisa punya anak? Itu saja. Lain tidak. Pak Yanto sudah sangat bersyukur kepada Allah telah dipertemukan seorang wanita salehah, penuh pengertian, dan juga seorang aktivis. Sedikit pun tidak terbersit dalam diri Pak Yanto untuk melupakan kebaikan isterinya.
Itulah kenapa ia tidak pernah putus asa konsultasi ke dokter. Segala terapi medis dan non medis sudah Pak Yanto coba. Tapi, hasilnya masih belum menggembirakan. Ia dan isteri masih tetap kesepian.
Hingga suatu hari, isteri Pak Yanto mengajaknya bicara serius. Pak Yanto bingung. Ada apa gerangan? “Mas, ada yang ingin saya tanyakan,” ucap isteri Pak Yanto memecah keheningan. Pak Yanto menangkap sesuatu yang lain dari wajah isterinya. “Tanya apa? Insya Allah, kalau bisa, akan Mas jawab,” jawab Pak Yanto tenang. Dan ia pun membalas senyum isterinya.
Tak ada suara apa pun. Agak lama Pak Yanto menunggu. Sepertinya, ada hal penting hingga butuh perenungan yang cukup lama. “Mas…,” ucap isteri Pak Yanto kemudian. Pak Yanto kian menyimak. “Mas siap untuk berkoalisi?” tanya sang isteri sambil menatap tajam suaminya. “Koalisi?” ucap Pak Yanto agak heran. “Iya. Koalisi antar dua keluarga, dan Maslah yang jadi pimpinan,” tambah isteri Pak Yanto gamblang.
Pak Yanto terdiam. Ia menatap lekat isterinya. Ia seperti ingin memastikan kalau yang diucapkan isterinya bukan gurauan. Tapi, akhirnya memang itu bukan gurauan. Itu sebuah pertanyaan serius.
Memang, beberapa minggu lalu, Pak Yanto pernah dengar kalau ada seorang akhwat beranak tiga yang perlu pertolongan. Pasalnya, suaminya sudah lama meninggal, sementara anak-anaknya masih kecil. Dan, urusan ekonomi akhwat itu mulai kusut. Padahal, ia tergolong aktivis muslimah yang baik.
Saat itu, Pak Yanto seperti ditarik ke sebuah ruangan yang sebelumnya ia jauhi. Ia berusaha keras untuk tidak menyentuh masalah itu. Pak Yanto khawatir kalau kenangan manis masa lalu yang bersejarah itu akan sirna begitu saja.
Isterinya memang penuh pengertian, tapi tidak berarti ia tidak punya perasaan. Bukankah tiap wanita punya rasa. Ada cemburu di situ. Ada rasa ingin selalu memiliki, dan khawatir kalau yang dimiliki akan pergi menjadi milik orang lain. Ah, Pak Yanto jadi sangat berat dengan tawaran isterinya tentang koalisi.
Akhirnya, Pak Yanto tidak memberikan jawaban apa pun. Ia tinggalkan isterinya yang masih dikepung tanda tanya. “Mas mau ke kamar mandi. Wudhu!” ucap Pak Yanto sambil melangkah menuju kamar mandi. Ia seperti tergerak untuk salat sunah dhuha.
Sepanjang hari, setelah pertanyaan isterinya itu, Pak Yanto jadi tidak konsen. Pikirannya terbelah. Ia tidak habis pikir, kenapa isterinya bisa mengajukan pertanyaan sedahsyat itu. Ia ingat betul saat-saat awal membina rumah tangga yang penuh perjuangan itu. Dan saat itu, Pak Yanto bisa menangkap seperti apa kedalaman rasa isterinya. Hatinya begitu halus. Peka. Jangankan teguran, sindiran halus pun bisa membuat isterinya menangis.
Hal itu mungkin wajar. Karena dalam keluarga, isteri Pak Yanto tergolong anak bungsu. Sejak kecil, isterinya tumbuh tanpa peran ibu. Ibu mertua Pak Yanto sudah meninggal dunia sebelum isterinya masuk SMP. Sementara, ayahnya sering dinas luar kota. Hanya dua kakak isteri Pak Yanto yang kerap mengayomi adiknya. Tapi, keduanya kadang sibuk dengan urusan masing-masing.
Melihat situasi itu, Pak Yanto sadar sekali kalau ia ibarat muara cinta sang isteri yang lama tertambat. Itulah yang ia alami hidup bersama isterinya hingga belasan tahun. Lalu, apa benar isteri Pak Yanto sudah begitu berubah. Ia terus terang, masih sangat ragu.
Sore itu begitu sejuk ketika Pak Yanto dan isterinya duduk di beranda rumah. “Mas, aku ingin bicara lagi soal koalisi,” ucap isteri Pak Yanto mengalihkan suasana. Pak Yanto deg-degan. Hingga dua minggu itu, ia memang belum punya jawaban. “Anu, Mas. Setelah pikir-pikir panjang. Kayaknya aku belum siap koalisi,” tambahnya kemudian. “Maksud kamu?” tanya Pak Yanto tambah bingung.
“Aku khawatir, Mas. Aku khawatir, suatu saat, koalisinya berubah jadi oposisi!” suara isteri Pak Yanto sambil menunduk. ([email protected])