Pernikahan tak ubahnya seperti sebuah wadah buat tumbuhnya benih cinta. Jika benih cocok dengan suasana wadah, tanaman pun tumbuh. Dan mulailah dua daun muda nan segar tampak menghias wadah. Kelak, daun cilik itu akan tumbuh banyak; siap mengolah energi cinta menjadi buah.
Begitulah kira-kira bayangan banyak orang tentang indahnya sebuah pernikahan. Tak heran jika pernikahan bukan sekadar pilihan. Melainkan, sebuah cita-cita. Setidaknya, perasaan itulah yang kini dialami Jejen.
Satu tahun sudah Jejen menghitung-hitung langkahnya menuju pernikahan. Pada tanggal satu Muharam lalu, tekad itu akhirnya membulat. Kini pemuda jebolan sekolah tehnik menengah itu pun tengah repot-repotnya menempuh proses.
Semua persyaratan Jejen siapkan. Mulai dari tabungan ala kadarnya, biodata, dan tentu saja foto. Untuk syarat yang terakhir tadi, Jejen agak ragu. Berkali-kali ia tatap foto dirinya. Tapi, percaya diri yang ia tunggu-tunggu belum juga sempurna. Jejen masih menyisakan ragu, “Kok nggak cakep juga, ya. Padahal fotonya di studio!”
Bismillah. Keraguan itu pun akhirnya tergusur. Ia yakin, sebagian besar muslimah nggak terpaku sama foto. Tidak sedikit pasangan yang suaminya kurang cakep hidup harmonis dengan isteri yang cantik. “Yang penting niatnya, Bung!” tekad Jejen memantapkan diri.
Mulailah saat-saat yang mendebarkan: perkenalan. Didampingi ustadz dan ustadzah, Jejen memperkenalkan diri dengan sang calon. Ruangan itu begitu hening. Cuma suara Jejen yang terdengar. Kadang mengalir lancar. Tapi seringnya gagap. Pemuda yang tak ragu menceritakan kalau pekerjaannya cuma tukang koran dan majalah itu pun akhirnya tak mampu membendung hasrat. Sesekali, ia menoleh ke arah calonnya. “Subhanallah, cakep!” bisiknya dalam hati.
Sejak itu, tekad Jejen kian menggebu. Ia tak lagi sabar menanti langkah proses berikutnya: perkenalan dengan orang tua calon. Pada proses ini, Jejen yakin nggak akan ada hambatan. Soalnya, calonnya sudah menjamin kalau ayah ibunya sudah tak masalah. Siapa pun yang melamar, insya Allah diterima. Tapi, ada satu catatan: ayah sang calon masih kental dengan tradisi Jawa.
Jejen berusaha tenang ketika orang tua calonnya mempersilakan masuk. Ia ingat betul dengan nasihat seorang teman yang sudah menikah. “Usahakan santai dan akrab!” Dari suasana santai dan akrab itulah, kesan persaudaraan mudah terbangun.
Setelah di dalam, Jejen tambah yakin dengan info yang pernah disampaikan calonnya: calon mertuanya siap menerima. Buktinya, kue dan beberapa gelas minuman telah tersedia. Tanpa nunggu basa-basi, Jejen pun langsung minum. “Alhamdulillah, seger!” ucapnya pelan.
Di luar dugaan, wajah calon ayah mertuanya tiba-tiba berubah. Ada yang nggak beres sepertinya. Hal itu bukan tidak ditangkap Jejen. Tapi, ia tetap istiqomah dengan rumus temannya: santai dan akrab. “Gimana kabarnya, Pak-Bu?” suara Jejen sambil menebar senyum.
Setelah beberapa hari Jejen baru dapat jawaban tentang perubahan wajah calon mertuanya. Pasalnya, sang camer tersinggung ketika Jejen langsung duduk dan minum sebelum dipersilakan. Jejen harus segera minta maaf. Kalau tidak, lamaran ditolak. Jadi tinggal pilih: minta maaf ke camer atau pernikahan batal.
Tinggallah minggu-minggu terakhir pernikahan Jejen. Tapi, yang akan menikah justru tambah gelisah. Jejen sama sekali tidak sedang berurusan dengan camer. Bukan juga soal foto. Tapi, ini berurusan dengan tempat pesta pernikahan. Di mana?
Beberapa gedung pertemuan sudah ia kontak. Mulai dari masjid sampai balai rakyat. Tapi, selalu berujung pada masalah harga. Mahal! Paling tidak buat kantong Jejen. Belum lagi dengan pernik-pernik yang mengikutinya. Seperti katering, sound system, sewa bangku, dan tentu saja dekorasi pelaminan.
Atas persetujuan pihak calon isteri, pernikahan bisa dilangsungkan di rumah. Biar kecil, rumah camer Jejen bersebelahan dengan kebon kosong. Lumayan bisa buat nampung tamu-tamu. Cukup pasang tenda, bangku, dan suara tape; para tamu bisa tenang menikmati pesta walimah.
Atas karunia Allah pula Jejen kini sedang duduk bersila di hadapan penghulu dan ayah calon isterinya. Kali ini, ia tak lagi menggunakan rumus temannya: santai dan akrab. Ia justru tampak gugup. Butiran-butiran keringat mulai menetes dari celah kopiah Jejen yang tampak kekecilan. Sesekali, tangan kiri Jejen menggaruk.
Semua pandangan tamu tertuju ke arah Jejen yang mulai berjabat tangan dengan calon mertuanya. Dan keheningan pun begitu terasa ketika terdengar ucapan, “Saya nikahkan anak saya, Sri, dengan Jejen dengan maskawin berupa lima gram emas. Tunai!”
Suasana kembali hening. Tak ada suara. Sedikit pun. Sontak, para tamu mulai riuh. Mereka terheran dengan Jejen yang sama sekali tak bersuara. Dan keheranan semakin menjadi ketika terdengar suara isak tangis Jejen. Melihat itu, semua hadirin haru. Sebagian ada yang ikut menangis.
“Ada apa saudara Jejen?” tanya penghulu memecah keheningan. Yang ditanya tak berubah. Tetap menangis. “Nak Jejen…? Ada apa?” tanya calon ayah mertua Jejen yang ikut penasaran.
Kali ini, tangis Jejen mulai reda. Ia seperti ingin bicara. Para hadirin semakin penasaran. “Ada apa, Nak Jejen?” tanya sang ayah sekali lagi.
“Anu, Pak,” suara Jejen mulai terdengar. “Saya…saya…saya lupa mesti ngucap apa! Saya malu!” ([email protected])