Orang tua buat anak menyimbolkan kekuatan, kebijaksaan, dan arah bahtera keluarga. Bayangkan jika simbol-simbol itu tak tertangkap jelas. Bisa jadi, anak akan mencari sendiri simbol yang pas buat orang tua mereka.
Anak-anak memang punya dunia sendiri yang seolah lepas dari kenyataan. Mereka membayangkan sesuatu menurut selera imajinasi seadanya. Satu kardus besar saja, bisa punya banyak arti. Bisa dianggap rumah, mobil, bahkan kuburan.
Begitu pun dengan sosok ayah dan ibu. Anak-anak biasa menggambarkan keduanya dengan sesuatu yang mampu mereka tangkap. Imajinasi mereka kian jauh ketika ayah dan ibu tergolong makhluk yang jarang melakukan penampakan. Terlebih buat ayah. Saat bangun tidur, ayah sudah tidak ada. Ketika akan tidur, ayah belum juga ada.
Dari kenyataan itu, imajinasi anak berkeliaran. Ada yang membayangkan ayah dan ibu sebagai pencari uang yang gigih. Ada yang menganggap keduanya sebagai aktivis yang super sibuk. Bahkan boleh jadi, ada yang merasa kalau orangtuanya tidak kerasan di rumah. Setidaknya, kesan-kesan itulah yang kerap diperbincangkan Andi dan Nina.
Bocah usia lima dan tujuh tahun ini seperti tak pernah henti mendiskusikan ayah dan ibunya. Sayangnya, peserta diskusi sangat terbatas: cuma dua orang. Walau sudah sering dijawab ibu, soal kesibukan ayah dan ibu masih tetap jadi isu hangat buat mereka.
Ketika ayah dan ibu tak di rumah, Andi menghampiri Nina. “Kak, ngapa sih ayah sama ibu jarang di rumah?” ucap Andi ke Nina. Nina tampak asyik dengan boneka yang terlihat kusam. Warnanya tak lagi jelas: dibilang putih, mulai menghitam. Dibilang hitam, masih ada bekas warna putih. Walau begitu, Nina menggendong sang boneka dengan penuh sayang.
“Kata ibu, ayah sama ibu sibuk cari duit,” jawab Nina enteng. “Emang kita miskin ya, Kak? Kok yang cari duit ayah sama ibu?” Andi mulai menampakkan penasarannya. Ia pandangi wajah kakaknya yang masih ngoceh sendirian dengan susi, si boneka kumal. Pelan, susi direbahkan di atas bantal, layaknya bayi yang akan ditidurkan.
Sesaat kemudian, Nina menoleh ke Andi. “Emang kamu nggak berasa?” tanya Nina agak diplomatis. “Nggak!” jawab Andi menggelengkan kepala. “Masak orang miskin makan soto ayam terus,” kilah Andi lebih memperlihatkan rasa bingungnya.
“Andi, kita tiap hari makan soto ayam karena ibu kerjanya dagang soto ayam. Gitu!” ucap Nina mulai serius. “Baju kita juga bagus. Tidak butut!” kilah Andi lebih diplomatis. “Lha iyalah. Kan ayah dagang baju loakan di emperan jalan. Kalau sisa, kita yang pake’,” jawab sang kakak lebih serius. Tiba-tiba, ia seperti mengingat sesuatu. Gadis kelas dua SD ini pun mengambil sebuah tas. Sebagian kulit tas tampak mulai berkelupas. Sambil bersenandung kecil, ia ambil buku tulis bersampul coklat dari dalam tas. “Ah, hampir lupa. Ada PR,” ucap Nina pelan. Andi tetap memperhatikan tingkah kakaknya.
Ruang berukuran tiga kali tiga meter itu memang serba guna. Bisa buat nonton tivi, nerima tamu, bermain anak, tempat belajar, bahkan transaksi bisnis. Tidak heran jika di ruang itu begitu ‘ramai’. Di pojok kanan ada tumpukan mainan, di pojok kiri ada lemari kaca berisi baju dagangan, ada tivi, dan ada dua gulungan kasur lipat. Ruang tidur?
Rumah Andi dan Nina cuma terdiri dari tiga ruang. Satu ruang serba guna tadi, yang tengah ruang tidur, dan satunya lagi dapur berhimpit kamar mandi. Di ruang terakhir itulah, ibu dua bocah itu memulai aktivitas bisnisnya sejak pukul tiga pagi. Biasanya, Nina dan Andi bangun satu jam kemudian. Mereka bangun bukan karena disuruh oleh ayah ibu mereka. Bukan juga karena kesadaran. Tapi karena bau masakan yang mengurung seisi ruangan tidur. Diawali dengan batuk, memincingkan mata, dan akhirnya terbangun. Sementara, ayah sudah berangkat bersama dagangannya.
Pernah beberapa kali, Nina terbangun karena ingin pipis. Saat itu jam menunjukkan pukul dua pagi. Setelah dari kamar mandi, Nina tak menemukan satu pun orang tuanya. Tidak ayah, tidak juga ibu. Kemana? Saat itu juga, Nina nangis. Mendapati sang kakak nangis, Andi pun ikut nangis. Hampir satu jam mereka nangis bersahut-sahutan.
Tangis Nina dan Andi baru berhenti setelah ayah dan ibu pulang. Saat itulah Nina paham kalau ayah ibunya keluar rumah untuk belanja. Beli sayuran, ayam potong, bumbu, dan lain-lain. Semua merupakan bahan baku membuat soto ayam. Sayangnya, Nina dan Andi tak bisa ikut ibu mendorong gerobak membawa dagangan. Pasalnya, mereka harus pergi ke sekolah, sekitar seratus meter dari rumah.
Sejak itulah mereka berpisah. Ayah sejak pukul empat sudah keluar. Dan ibu pergi berdagang saat Nina dan Andi ke sekolah. Dua bocah ini pun mesti berpisah. Nina ke SD. Sementara Andi masih TK. Tapi masih bersebelahan dengan sekolah Nina. Biasanya, Nina dan Andi pulang bareng. Kalau pun tidak, salah satu mesti menunggu. Ngapain sendirian di rumah!
Setelah perpisahan itu, ibu pulang sekitar jam tiga siang. Nina dan Andi senang bisa bantu mendorong gerobak dagangan ibu ketika tiba di pengkolan dekat rumah. “Asyik ibu pulang!” teriak Andi dan Nina hampir bersamaan. Hampir tiap hari kejadian itu berulang. Sayangnya, Andi dan Nina tidak bisa bantu membawa dagangan ayah. Karena mereka lebih dulu tidur sebelum sang ayah pulang.
“Bapak pulang! Bapak pulang!” teriak anak tetangga. Suara tawa riang pun mulai terdengar. Andi memperhatikan itu dari balik jendela depan rumah. Pikirannya menerawang. Enak kali ya ketemu ayah tiap hari. Bisa meluk ayah, digendong ayah. Tapi…, Andi seperti mengingat sesuatu.
“Kak, ayah sama ibu kasihan, ya!” ucap Andi sambil menoleh ke Nina. Sang kakak tampak masih serius dengan PR-nya. “Kasihan kenapa?” ujar Nina sekenanya.
Andi pun mendekati Nina. “Kak, kasihan ayah kepanasan kehujanan cari uang buat kita. Kasihan juga ibu. Capek-capek dagang buat kita,” ucap Andi menunggu reaksi sang kakak. Nina menoleh ke Andi. Dengan lembut, ia berujar, “Andi, masih banyak orang yang lebih kasihan dari kita!”