Keharmonisan keluarga tidak selalu lahir dalam satu atap. Beda rumah dan jarak pun keharmonisan bisa diraih. Cuma masalahnya, kadang ‘angin’ komunikasi bisa bertiup membingungkan.
Berbahagialah suami isteri yang bisa selalu hidup serumah. Kalaupun berpisah, rentang waktunya cuma dalam hitungan jam. Pagi berpisah, sorenya ketemu lagi.
Tidak begitu dengan mereka yang berpisah bukan sekadar hitungan jam, hari, dan pekan. Bahkan, bisa bulanan. Tentu, persoalan keharmonisan bukan lagi persoalan biasa. Perlu terobosan kreatif agar keharmonisan tetap terjaga.
Kalau tidak, jarak yang jauh tidak lagi memunculkan kerinduan. Bahkan boleh jadi, bisa menumbuhkan berbagai kegelisahan dan kekhawatiran. Hal itulah yang kini dialami Bu Nuni.
Ibu beranak dua ini perlu kesabaran ekstra. Pasalnya, ia tidak bisa berkomunikasi dengan suami tercinta dalam keadaan normal. Seperti umumnya pasangan suami isteri lain, ingin mengungkapkan sesuatu, bisa langsung bicara. Buat Bu Nuni beda. Karena sudah tuntutan tugas kantor, suaminya selalu dinas di luar kota. Bisa hitungan pekan, bahkan tidak jarang bulanan. Paling lama dua pekan keluarganya bisa ngumpul utuh. Selebihnya, berpisah lagi.
Pertanyaan tetangga dan teman dekat Bu Nuni selalu berulang pada soal suami. "Suami Bu Nuni kemana? Kok nggak pulang-pulang?" Dan jawabannya hampir bosan terucap Bu Nuni, "Dinas luar kota."
Bahkan, pernah ada tetangga baru yang sempat bikin kecewa. Mungkin setelah hampir tiga pekan tidak pernah melihat suami Bu Nuni, sang tetangga menyapa Bu Nuni dengan sangat akrab: "Bu Nuni janda, ya?"
Pola hidup seperti ini sebenarnya belum berlangsung lama. Baru berjalan sepuluh bulan. Karena kena PHK di perusahaan garmen, pilihan kerja seperti itu terpaksa diambil. Tidak enak, memang. Tapi, itulah pilihan buruk dari sekian yang terburuk. "Insya Allah, ada hikmahnya," ucap Bu Nuni ketika seorang teman menanyakan kesan Bu Nuni.
Bu Nuni berusaha tidak menyalahkan keadaan. Prinsipnya sederhana, keadaanlah yang mesti dibentuk. Bukan sebaliknya, terombang-ambing dipermainkan keadaan. Kalau sudah berusaha membentuk keadaan, yah, nikmatilah hasil yang bisa diraih. "Jangan mengeluh. Apalagi menggugat," sikap Bu Nuni mantap.
Walau begitu, kadang hati kecil Bu Nuni bersuara lain. "Andai bisa selalu bersama!" Tapi, suara itu cepat ia tepis. Ia masih bersyukur karena pisahannya cuma sebentar. Paling tidak, selalu ada harapan bisa bersama lagi. Bayangkan mereka yang pisahan karena tutup usia. Tentu sangat menyedihkan. Apalagi yang pisahan karena konflik pernikahan. Duh, mungkin lebih berat. Lahir dan batin. "Alhamdulillah!" suara hati Bu Nuni menenangkan kegelisahannya.
Suara-suara gelisah seperti itu biasanya muncul kalau rasa kangennya menguat. Biasanya, Bu Nuni memanfaatkan pesawat telepon. Tapi, itu bergantung jarak luar kota di mana suami Bu Nuni dinas. Selama biaya pulsa interlokalnya masih terjangkau, telepon jadi pilihan. Biasanya, Bu Nuni telepon-teleponan di atas jam sembilan malam. Lebih murah. Dan satu lagi yang tidak kalah penting: lebih mesra.
Tapi, kalau luar kotanya sudah di luar pulau, telepon cuma satu dua kali. Itu pun kalau sangat penting. Soalnya, Bu Nuni takut keterusan. Terasa seperti baru satu menit, nggak tahunya sudah hampir satu jam. Bisa-bisa gaji yang dikirim suami lebih banyak buat telepon.
"Kenapa nggak lewat sms?" tanya seorang tetangga. Bu Nuni cuma bisa senyum. Ya, mau sms gimana. Lha yang punya hp cuma suami. "Kenapa nggak lewat email?" tanya tetangga lain. Lagi-lagi, Bu Nuni senyum. Gimana mau lewat email, kenal internet saja belum.
Biasanya, kalau dinasnya sangat jauh, waktunya pun sangat lama. Seperti yang dirasakan Bu Nuni saat ini. Mau telepon takut mahal, mau diam tapi banyak yang ingin diceritakan. Syukurnya, Bu Nuni dapat alamat lengkap suami. Dari alamat itulah, Bu Nuni mencoba berkirim surat. Murah, bisa cerita banyak. "Kenapa nggak kepikir dari kemarin, ya?" ucap batin Bu Nuni menyesalkan.
Lama Bu Nuni menunggu balasan. Hampir satu pekan, tapi surat balasan belum juga datang. Jangan-jangan salah alamat. Bu Nuni ngecek lagi alamat yang ditulis suami. Ternyata, memang benar. Persis seperti yang ia tuliskan di amplop surat.
Sepuluh hari pun lewat. Tapi, surat yang ditunggu belum kunjung datang. Bu Nuni mulai gelisah. Tiap kali ada ketukan pintu depan, Bu Nuni selalu punya satu harap: tukang pos. Itu pun ternyata tinggal harapan. Kenyataan tidak seperti yang dibayangkan. "Ada apa dengan Masku?"
Terpaksa, Bu Nuni menggunakan telepon. Sayangnya, yang menjawab cuma suara seorang perempuan, "Mohon maaf, telepon yang Anda tuju sedang tidak aktif atau di luar servis area. Silakan coba lagi!"
"Bu Nuni!" seorang tetangga berteriak dari depan rumah. Bu Nuni segera keluar. "Ini ada surat dari Pak Pos. Tadi pagi dititip ke saya," ucap sang tetangga sambil berlalu menyampaikan surat lain ke tetangga yang lain.
Dengan terburu-buru, Bu Nuni menyobek sampul surat. Ia pun larut. Dan tiba-tiba, air matanya menitik. Bu Nuni menangis. "Ayah sakit parah, Nak. Sekarang di rumah sakit!" teriak Bu Nuni ke anak-anaknya. Melihat sang ibu menangis, anak-anaknya pun ikut menangis.
Dalam suasana panik itu, seseorang mengetuk pintu depan. Dan ternyata, tetangga yang tadi ngasih surat. "Bu Nuni mohon maaf. Surat yang tadi bukan buat Bu Nuni. Tapi, Bu Ririn yang suaminya kerja di Malaysia. Nih, surat buat Bu Nuni!" suara sang tetangga agak gugup. ([email protected])