Rumah tak ubahnya seperti taman. Sejuk, nyaman, dan menenteramkan. Di sanalah orang mencari kesegaran. Di sana pula orang mengobati segala iritasi jiwa yang disebabkan oleh polusi lingkungan. Seperti itulah suasana keluarga yang dipenuhi banyak cinta.
Sebagian orang kerap bingung ketika mengalami hujan masalah. Masalah pekerjaan, konflik dengan atasan, keretakan pergaulan sesama rekan kerja, kemacetan lalu lintas, serangan fitnah, lingkungan rumah yang tidak ramah, hingga masalah lubang-lubang rezeki yang tidak lagi terbuka lebar. Saat itulah, hati menjadi panas. Jiwa gelisah.
Ia butuh tempat berteduh. Ia butuh tempat untuk berbagi rasa. Ia perlu disegarkan dengan ungkapan banyak cinta. Dan keluarga sakinahlah yang sebenarnya ia butuhkan. Sayangnya, tidak semua orang sadar tentang itu. Setidaknya, itulah yang kini dialami Pak Kodir.
Pernah bapak lima anak ini bersitegang dengan atasannya di kantor. Ia tidak setuju dengan kebijakan atasan yang membolehkan pendekatan ke klien dengan cara ‘hadiah’. Buat Pak Kodir, jelas sekali maksud ‘hadiah’ itu. ‘Hadiah’ tak lain adalah uang sogok. Dan itu terlarang dalam ajaran Islam. Dalam Islam, tak ada toleransi dalam urusan halal haram.
Ketegangan terus berlanjut hingga muncul pilihan terkahir dari Pak Kodir. Ia mungkin akan berhenti kerja. Itu artinya, ia mengundurkan diri. Itu juga artinya, ia tidak dapat pesangon. Lima tahun lebih bekerja, tak memberikan hasil akhir yang memuaskan. Sebuah pilihan yang teramat sulit.
Belum lagi ketika berpikir soal pekerjaan selanjutnya. Wah, pilihan makin sulit. Tidak mudah mencari pekerjaan di zaman susah seperti sekarang ini. Mau wirausaha nggak ada modal. Kecuali, kalau dapat pesangon.
Konflik dan pilihan sulit itu kian semrawut dalam pikiran Pak Kodir. Kadang, ia ingin marah. Kadang, ia merasa lemah tak berdaya. Ketika itulah, ia tak lagi proporsional menanggapi tingkah polah anak-anaknya yang sebagian besar masih sekolah dasar. Ia jadi gampang marah ke anak-anak. Bahkan, beberapa kali memukul.
Kini, ketegangan bukan cuma terjadi di kantor. Tapi, sudah menular ke rumah. Konflik bukan hanya melibatkan orang-orang yang layak terlibat. Tapi, sudah menjalar ke orang-orang yang sama sekali tak tahu-menahu masalah. Merekalah isteri, anak-anak, pembantu, bahkan tetangga.
Suasana rumah yang tadinya damai berubah kaku, tegang. Anak-anak jadi tak lagi bebas berekspresi. Mereka dibayang-bayangi reaksi ayah yang di luar perkiraan. Ah, cinta yang dulu bersemi dalam rumah, menjadi layu. Isteri Pak Kodir yang sebelumnya tenang menanggapi tingkah anak-anak menjadi sangat sensitif, gampang marah. Kakak yang tadinya lembut menasihat adik-adik ketika gelas pecah, air minum tumpah, televisi bersuara terlalu keras; menjadi kasar dan main bentak: “Dasar bodoh!”
Sebuah keadaan yang jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya. Damai, tenang, penuh perhatian dan kelembutan. Ada perubahan yang cukup dahsyat. Ada yang luput dari perhatian. Dan, ada yang hilang dari rumah Pak Kodir.
Hingga suatu kali, seorang teman kantor berujar pada Pak Kodir. “Kamu orang yang berbahagia, Dir. Bayangkan, saya, pulang ke rumah menemui benda-benda mati: rumah, kursi, meja, tivi. Sementara, kamu pulang menemui banyak cinta.”
Banyak cinta? Sebuah ungkapan sederhana yang menyentak nurani Pak Kodir. Ia terkulai lemas demi mengingat apa yang telah ia perbuat selama ini. Secara tak sadar, ia telah melenyapkan sesuatu yang teramat berharga. Sesuatu yang tidak akan bisa ternilai dengan harga berapa pun. Itulah kehangatan cinta keluarga.
Mungkin, di situlah nilainya kenapa Baginda Rasulullah saw. pernah mengatakan, “Rumahku, surgaku!” Beliau saw. yang mulia menyamakan nilai rumah tangganya dengan suasana surga yang penuh kenikmatan, kedamaian, dan ketenangan. Dalam surga, tak ada ditemukan sedikit pun kebencian, kesia-siaan. Yang ada kedamaian dan kesejahteraan. Yang ada hanya cinta.
Ketika cinta bersemi dalam keluarga, rumah menjadi tempat yang paling sejuk di seluruh dunia. Segala kebisingan hiruk pikuk dunia materialis teredam dalam pintu depan rumah. Segala kebusukan tingkah polah manusia yang sempat terhisap dalam hati, langsung terkikis dalam taman canda keluarga.
Pak Kodir menemukan sesuatu yang hilang. Ia teringat bagaimana damainya senyum isteri menyambut kehadirannya di rumah. Bagaimana indahnya hidup dikelilingi canda dan tingkah lucu buah hati. Sebuah hiburan yang tak pernah ada di dunia mana pun. Indah, ringan, menyegarkan.
Boleh jadi, kesibukan luar rumah mengecilkan arti cinta keluarga. Boleh jadi, racun-racun yang disebarkan musuh-musuh Islam melalui berbagai media telah mendangkalkan pemahaman pimpinan keluarga tentang tingginya nilai cinta keluarga. Ia bisa menghinggapi suami, isteri, dan anak.
Kesadaran itu kian kuat dirasakan Pak Kodir. Dialah kini yang mesti paling berperan mengubah warna merah tegang keluarga menjadi hijau muda menyegarkan. Sesegar hijaunya taman alam pegunungan. ([email protected])