Cinta suami isteri bagaikan masakan olahan serba daging yang sudah pasti gurih. Tapi tetap saja, sebagian orang merasa belum cukup kalau olahan belum ada campur tangan mecin.
Bagaimanapun keadaan seseorang, cinta suami isteri kerap memberikan nuansa lain. Ibarat kata, walau cuma makan nasi dengan garam, kalau diiringi dengan cinta, sajian jadi begitu nikmat. Hal itulah yang kini dirasakan Si Iteng.
Ibu yang sebenarnya bernama Nurhasanah ini begitu bahagia tinggal bersama suami dan dua anaknya. Walau hidup serba sederhana di sebuah desa di kaki gunung Salak, Iteng merasakan seperti orang yang paling bahagia di dunia ini.
Pagi-pagi buta sebelum suami dan anak-anaknya berangkat, ia sudah berolah raga di dapur. Mulai dari menimba air di sumur, menyalakan kompor kayu, menumbuk bumbu dapur, memasak, hingga menyiapkan sarapan sederhana kepada orang-orang yang ia cintai.
Suatu hal yang paling membahagiakan Iteng dalam seluruh isi hari itu adalah ketika ia mendapati senyum suami saat mau berangkat dagang, dan mengecup kening dua puteranya yang akan ke sekolah. Subhanallah, indahnya dunia ini. Setelah itu, Iteng menyibukkan diri nunggu warung kecil di depan rumah.
Di warung berukuran satu kali dua meter itu dipajang aneka jajanan. Ada permen, kerupuk, mi instan, keripik, bakwan, lontong, minuman kemasan, dan lain-lain. “Yah, lumayan buat nambahin asap dapur!” ujar Iteng soal warung kecilnya.
“Iteng mau ikutan ke Jakarta juga?” ucap seorang ibu berkerudung yang tiba-tiba berada di depan warungnya.
“Eh, Teh Ani,” jawab Iteng spontan. Ia pun membalas senyum tamunya yang mulai memilih-milih bakwan dan lontong.
“Aya naon (ada apa, red) di Jakarta, Teh?” ucap Iteng sambil membungkus beberapa bakwan dan lontong. Ia begitu penasaran dengan ucapan tetangganya soal ke Jakarta.
“Eh Iteng, kok gak tahu. Kan Ustad Asep ngajakin pengajian sini ikutan ke Jakarta. Kang Memed gak bilang?” ucap sang tetangga sambil memberikan beberapa uang ribuan ke Iteng. Bungkusan bakwan dan lontong pun ia pegang. Setelah mengucapkan salam, sang tetangga pun beranjak meninggalkan Iteng yang masih kebingungan.
Kalau inget Ustadz Asep, Iteng jadi ingin selalu bersyukur pada Allah. Melalui pengajian yang dipimpin Ustadz Aseplah, Iteng dan suami jadi dapat hidayah. Iteng bersyukur akhirnya bisa pakai jilbab. Suami pun tidak lagi keluyuran malam-malam cuma mengisi waktu kosong. “Alhamdulillah ya Allah,” suara Iteng dalam hati.
Dari berkah pengajian Ustadz Asep juga suami Iteng jadi rajin dagang. Walaupun cuma jualan aneka peci, minyak wangi, tasbih, mushaf Alquran, dan beberapa buku agama di emperan masjid kampus. Dari usaha dagang itu, suami Iteng akhirnya bisa nyicil motor. Itu pun lagi-lagi buat kelancaran dagang.
Malam itu, ketika Iteng, suami, dan anak-anaknya asyik makan, soal pergi ke Jakarta akhirnya ditanyakan Iteng. “Kang, aya naon ke Jakarta sama Ustadz?” suara Iteng memecah keheningan.
Suami Iteng tampak mengatur suapan makan agar bisa bicara. “Oh itu,” ucapnya. “Kata Ustadz, di Jakarta mau ada musyawarah para ustadz,” tambah suami Iteng sembari menyeruput teh pahitnya.
“Masya Allah, Akang. Banyak Ustadz yang datang atuh Kang? Banyak Ustadz mah banyak ilmu,” sambut Iteng spontan.
“Kata Ustadz, bukan cuma banyak ustadz. Di sana juga rame. Ada ceramah, hiburan Islami,” ucap suami Iteng.
Iteng mendengarkan serius, sambil sesekali mengangguk-angguk. “Rame atuh, Akang!” ucapnya kemudian.
“Ada satu lagi, Teng, yang juga penting buat kita,” suara suami Iteng membuat penasaran Iteng kian menjadi.
“Apa itu, Kang?” tanyanya cepat.
“Akang diajak Ustadz ikutan gelar dagangan di acara bazar. Katanya, yang datang bisa ribuan orang!” jelas suami Iteng begitu semangat.
“Alhamdulillah atuh Akang. Alhamdulillah ya Allah!” sambut Iteng begitu antusias.
Subuh itu, Iteng dan suami sedang berkemas untuk berangkat ke Jakarta. Anak-anak sudah terbiasa ditinggal berdua. Mereka yang sudah duduk di bangku madrasah tsanawiyah, bahkan biasa merapikan rumah kalau orang tua mereka pergi. Motor yang akan mendampingi perjalanan mereka sudah siap.
“Akang,” ucap Iteng tiba-tiba. Mimik serius Iteng akhirnya menghentikan kesibukan sang suami yang masih sibuk mengikat kemasan dagangan.
“Akang, kunjungan kita ke Jakarta harus diniatkan buat ibadah. Jangan cari untung!” suara Iteng begitu serius. Sang suami pun menjawab spontan, “Insya Allah!”
Usai shalat Subuh dan sarapan, Iteng dan suami pun berangkat ke Jakarta. Walau udara dingin dan gerimis, suami isteri ini begitu semangat menuju Jakarta.
Pagi itu, suasana di sekitar tempat musyawarah ustadz-ustadz yang disebut suami Iteng begitu ramai. Beberapa bendera tersusun rapi di tepian jalan menyambut para hadirin yang datang. Ibu-ibu berkerudung tampak berbondong-bondong menuju lokasi. Ada yang sama-sama seusia, ada yang sama anak-anak, ada juga yang bersama suami dan keluarga besar mereka.
Iteng begitu takjub dengan suasana sekitar. Beberapa kali ia ke Jakarta, baru kali itu ia begitu terpesona. Bukan sekadar suasana tempat musyawarah yang ramai dan Islami, tapi tempat acara yang tampak begitu asing buat Iteng.
“Kang, ini tempat apa? Kok temboknya kaca semua? Gedungnya tinggi pisan!” ucap Iteng sambil terus mendongak ke arah puncak gedung.
“Ini namanya hotel besar, Iteng!” jawab suami sekenanya. Tampaknya, suami Iteng agak bingung menyebut nama. Ia lupa, soalnya dengan bahasa asing.
“Hotel naon, Akang?” tanya Iteng kemudian.
Suami Iteng terdiam sebentar. Ia sebenarnya bingung mau jawab apa. Lidahnya belum terbiasa dengan sebutang bahasa asing.
Tiba-tiba Iteng yang lebih dulu bersuara kepada suaminya. “Oh, itu hotel cap monyet, Akang!” ucap Iteng sambil tangannya menunjuk ke arah gambar di puncak hotel.
“Astaghfirullah. Bukan atuh Iteng. Monyet mah lambang Yahudi!” jelas suami Iteng sambil mempengeringati isterinya untuk jangan asal bicara.
“Itu hotel cap singa!” ucap suami Iteng kemudian. Mereka pun bergerak menuju tenda yang bertuliskan ‘Arena Bazar’.