Aneh bin ajaib memang. Di hampir setiap kali datang bulan berkah penuh ampunan, yang paling menyibukkan masyarakat justru bukan di kegiatan ibadah. Tapi, di dunia pasar: harga sembako yang melonjak, kebutuhan belanja dapur naik dua kali lipat, dan biasanya baju baru buat anak-anak.
Sebuah pemandangan yang jauh beda dengan yang ditawarkan bulan Ramadhan. Di bulan itu, pahala ibadah Allah lipat gandakan. Ibadah wajib dan sunnah sangat Allah muliakan. Lalu, apa pasal sehingga pasar lebih jadi pusat perhatian. Bukan masjid, musholla, majelis taklim, dan lainnya.
Kalau mengingat itu, Pak Amir jadi malu sendiri. Malu kepada Allah, dan malu kepada isteri dan anak-anak. Ia ingat betul sapaan lembut isterinya kalau sudah mau masuk bulan Ramadhan, “Ingat Mas, jangan boros. Sisakan buat sekolah anak-anak!”
Entah kenapa, kalau sudah datang bulan Ramadhan, Pak Amir merasa seperti orang yang paling nggak tega dengan belanja dapur dan anak-anak. Di luar sepengetahuan isteri, sejumlah makanan siap saji kerap dibawa Pak Amir untuk makanan berbuka. Ada olahan ayam, daging bakar, sate, bahkan beberapa makanan khas luar negeri.
Kalau sudah begitu, anak-anak akan teriak gembira. “Asyik, ada makanan kejutan!” ucap mereka saling bersahutan. Dan, tinggallah isteri Pak Amir yang bingung mau bilang apa. Mau senang, masakannya nggak laku. Mau sedih, suaminya berniat baik menyenangkan anak-anak.
Sebenarnya, isteri Pak Amir sudah protes. Isi protes itu bilang, “Kalau mau nyenengin anak-anak, kenapa nggak ditambah aja uang belanja rutinnya. Pasti makanannya lebih enak!”
Selain itu, isteri Pak Amir berharap agar uang belanja bisa disisihkan buat tabungan pendidikan anak-anak. Tidak selalu habis begitu saja hanya buat makanan-makanan enak.
Ah, Pak Amir mengingat semua bayang-bayang masa lalu itu dengan agak gundah. Ia menyesal punya kebiasaan seperti itu. Selain anak-anak jadi nggak suka dengan olahan ibunya, mereka pun jadi manja dengan makanan.
Belum lagi soal kenangan baju baru. Hampir tiap Sabtu dan Minggu, bulan Ramadhan Pak Amir nyaris hanya terisi mondar-mandir di mal dan outlet baju. Padahal, ia paham betul kalau masjid tempat yang paling berkah untuk mengisi hari-hari kosong di bulan Ramadhan.
Macam-macam kegiatan ia lakukan waktu itu. Mulai dari rencana beli baju, ngajak anak-anak ngecocokin baju, dan ngebalikin baju yang dirasa nggak sreg ke toko baju.
Belum lagi aksesoris lain yang sebenarnya sama sekali tidak berhubungan dengan Ramadhan dan persiapan lebaran. Mulai dari hp model baru, sepeda baru, bahkan akuarium baru.
Sayangnya, kegundahan tentang masa lalu itu nyaris tak berarti. Sudah beberapa tahun ini, usaha Pak Amir mengalami krisis. Jangankan buat baju dan makanan kejutan, buat yang pokok-pokok saja Pak Amir sudah tujuh keliling. Pusing!
Saat itulah, ia menyadari apa yang selalu diingatkan isterinya, “Mas, jangan boros. Ingat buat pendidikan anak-anak!”
Pak Amir kini begitu menyadari anugerah Allah yang paling mahal yang selama ini ia lalaikan. Allah telah menganugerahkannya seorang isteri yang shalihah. Ia bahagia ketika isterinya tidak menyalahkannya di saat susah.
“Dik, kalau saja ada rezeki, Mas mau ngasih hadiah buat kamu,” ucap Pak Amir suatu kali.
Isteri Pak Amir hanya senyum sambil tangannya begitu cekatan menggoreng tempe, tahu, dan olahan sayur kangkung yang akhir-akhir ini menjadi sajian rutin keluarga di bulan Ramadhan. “Sudahlah, Mas! Lupakan!” ucapnya kemudian.
Sebenarnya, isteri Pak Amir merasa lebih nyaman dengan sikap suaminya seperti sekarang ini: sangat prihatin, dan tidak lagi boros seperti dulu. “Alhamdulillah, semuanya memang punya hikmah,” batin isteri Pak Amir berbisik pelan.
Malam takbiran begitu syahdu terasa di hati masyarakat kampung Pak Amir yang baru saja menyelesaikan shalat Isya berjamaah. Suara takbir pun berkumandang begitu menyentuh. Termasuk di hati isteri Pak Amir yang masih duduk di sajadah tipisnya. Bibirnya bergerak lambat mengikuti alunan takbir yang terdengar dari pengeras suara masjid.
Tiba-tiba, ia teringat suami dan anak-anaknya yang sejak siang tadi tidak kelihatan. “Aneh, pada kemana ya?” ucap batin isteri Pak Amir sambil memeriksa sajian buka puasa yang masih belum tersentuh. Seharusnya, maghrib tadi menjadi momen terindah untuk mereka sekeluarga.
Ia pun mencari-cari hp yang diyakini berada di atas lemari baju. Ia berharap bisa dapat jawaban melalui kontak dengan hp suaminya yang sejak sore tadi sulit terhubungi. Tiba-tiba…
“Assalamu’alaikum!” suara anak-anak Pak Amir terdengar hampir serempak dari balik pintu depan rumah. Warna riang tergambar dari balik teriakan itu. Dan isteri Pak Amir pun bergegas membukakan pintu.
“Bunda, nih baju barunya dari ayah. Dua sekaligus. Bagus deh, kayak baju artis!” ucap si sulung sambil menyodorkan dua bungkusan mewah. Masing-masing anak pun terlihat menggenggam beberapa bungkusan belanja yang entah apa isinya. Dan, saat itulah isteri Pak Amir melihat suaminya tersenyum lebar dari balik pintu.
“Mas, uang dari mana?” ucap isteri Pak Amir spontan. Pak Amir pun menjelaskan, kalau di luar dugaan, ia masih punya piutang dari rekan bisnisnya yang baru saja mentransfer lewat rekening.
“Lumayan besar, Dik, cukup buat beli baju dan makanan-makanan kejutan!” ucap Pak Amir sambil menampakkan senyum puasnya.
Tinggal isteri Pak Amir yang bingung: antara gembira dengan prihatin. “Ya Allah, suamiku, suamiku!” ucapnya sambil menggelengkan kepala, pelan. ([email protected])