Suami dan isteri tak ubahnya seperti sinar matahari dan hujan bagi kehidupan keluarga. Matahari memberikan energi kehidupan. Dan hujan menumbuhkan benih, merawat kesejukan, dan menyiram ketenangan. Tapi, gimana jadinya kalau matahari berganti bulan.
Biasanya, belanja hobi milik wanita. Dalam momen apa pun, ibu-ibu nyaris tak luput dari yang namanya belanja. Tapi, nggak begitu dengan Bu Nia. Justru, dialah yang bingung dengan hobi suaminya yang getol belanja.
Belanja memang tak bisa dipisahkan dari rutinitas keluarga. Ada yang harian, mingguan, ada juga yang bulanan. Umumnya, perwakilan keluarga berangkat belanja kalau ada kebutuhan. Bisa ibu, ayah, anak, atau satu keluarga sekaligus. Sampai di situ, Bu Nia memang sepakat. Ada kebutuhan, ada belanja. Siapa pun yang berangkat, tak ada masalah.
Namun, buat suami Bu Nia agak lain. Ia begitu rajin bersilaturahim ke pasar. Pola belanjanya acak. Bisa harian, dua harian, atau tiga harian. Nyaris, tak pernah mingguan. Apalagi bulanan. Bahkan, bisa lebih sekali dalam satu hari.
Masalahnya bukan sekadar waktu yang tersita. Tapi, aliran uang pun sering tak beraturan. Yang mestinya bisa nabung di akhir bulan, malah defisit. Bahkan, anggaran buat infak sering terlindas buat belanja. Padahal, anggaran infaknya tak lebih dari dua setengah persen dari gaji berdua. Heran!
Memang, uangnya milik suami. Tapi, apa sebegitu perlu sehingga uang nyaris tak pernah bersisa di akhir bulan. Gimana kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan mendadak. Mau pinjam kemana? Mau jual apa?
Repotnya, suami selalu ngeles kalau diingatkan. Ada saja alasannya. “Lho, siapa yang belanja. Orang cuma survei, kok. Kali aja merek baru ini lebih cocok, Ma,” jawab suami Bu Nia ringan.
Bukan itu saja. Anak-anak pun jadi keranjingan pola belanja Papanya. Tiap kali papanya pulang, anak-anak selalu berebut nyambut. Sambutan bukan ditujukan ke tangan sang papa untuk dicium. Tapi, justru ke tas yang biasa dibawa papa. Mereka sudah membayangkan, makanan apa yang bersembunyi di balik tas sang papa. Atau, mainan menarik apa yang bercokol di tas papa.
Kalau ingat itu, Bu Nia jadi merasa bersalah. Dialah yang menjadikan suaminya keranjingan belanja. Dua tahun sebelumnya, suami Bu Nia sama sekali tak suka belanja. Kecuali, kalau diajak Bu Nia. Waktu itu, Bu Nia sering larut dengan suasana pasar. Dia kadang menikmati pameran label harga yang berjejer. Pemandangan harga itu bagaikan simponi nada yang satu sama lain saling menyempurnakan. Indah mempesona. Tak heran, kalau Bu Nia bisa berjam-jam di pasar. Tanpa membeli satu barang pun.
Tanpa sadar, Bu Nia sedang melatih suaminya berbetah-betah di pasar. Menikmati tawar-menawar harga. Menikmati perbandingan satu barang dengan yang lain. Menikmati silaturahim dari kios ke kios lain. Menikmati imajinasi liar saat memandang barang pajangan yang bagus. Ah, andai saya banyak duit!
Cuma bedanya, Bu Nia teramat ketat membuka dompet. Ia memang bisa menikmati suasana pasar. Tapi, sama sekali tak tergiur membeli barang yang tak perlu. Sebagus apa pun, dan semurah apa pun. Sementara, suaminya bisa menikmati dua hal sekaligus: berbetah-betah di pasar, dan belanja apa pun yang dianggap perlu. Sayangnya, anggapan itu sering meleset. Jadilah barang sejenis numpuk di rumah tanpa tahu kapan mau dipakai.
Yang mengherankan Bu Nia, nafsu belanja suaminya bisa atas nama peduli, prihatin, dan kasihan pada tetangga. Bayangkan, suaminya bisa borong barang dengan jumlah dua kali lipat dari kebutuhan. Kalau ditanya, suaminya senyum. Tiba-tiba, wajahnya menampakkan sinar kedermawanan yang luar biasa. “Ma, kasihan tetangga kita. Mereka belum punya piring melamin,” jawab sang suami penuh percaya diri.
Di sinilah Bu Nia kian sadar. Betapa pasar bisa membuat orang tersasar. Orang tak lagi mampu membedakan antara mendesak dengan didesak. Mendesak lahir memang karena kebutuhan. Sementara, didesak adalah upaya sukses iklan menyihir calon pembeli. Tanpa sadar, orang tergiring nafsu belanja.
Bukan itu saja. Saat ini, pasar tak lagi identik dengan suasana kumuh, bau amis, sumpek, sesak, dan jorok. Mal-mal telah sukses menampilkan sosok pasar yang lain dari biasanya: sejuk, bersih, nyaman, indah, dan mewah. Orang tak lagi ke pasar karena dorongan kebutuhan. Tapi, karena ketagihan dengan suasana pasar yang memanjakan.
Mungkin, itulah kenapa Rasulullah saw membimbing kita ketika masuk pasar. Dan bimbingan masuk pasar persis sama dengan masuk kamar mandi: diawali kaki kiri, dan mohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan. Kaki kiri menandakan buruknya tempat yang kita masuki. Dan mohon perlindungan kepada Allah mengisyaratkan bahwa tempat yang kita masuki rawan godaan.
Kalau itu yang disampaikan, Bu Nia yakin suaminya pasti paham. Sudah kebayang, gimana reaksi suaminya. Ia senyum-senyum. Dan akhirnya bilang, “Ini kan buat anak-anak kita juga, Ma. Kasihan…!”
Akhirnya, cuma ada satu jalan yang mungkin cocok. Bu Nia akan minta kenaikan anggaran belanja dapur, hingga satu setengah kali dari biasanya. Dan urusan belanja dapur hanya milik Bu Nia. Suami tak boleh ikut ngatur, dan terlarang bantu-bantu belanja dapur. Ia berharap, kelebihan belanja bisa disisihkan buat nabung. Dan satu lagi yang lebih penting, suaminya kehabisan bahan bakar buat silaturahim ke pasar-pasar.
Tips ini ternyata jitu. Pola kunjungan suami ke pasar mulai jelas. Tidak lagi tiap hari seperti biasanya. Tapi, hanya di hari Sabtu atau Ahad. Ia tak lagi merasa perlu menjadi dermawan. Mungkin, karena ia sendiri butuh bantuan.
Kadang, Bu Nia jadi kasihan. Setiapkali pulang kantor, suaminya tampak agak bengong. Ia seperti memikirkan sesuatu. “Aduh, sayang ya, Ma. Coba kalau punya duit, saya beli, tuh. Murah, Ma! Lagi discount,” ujar suami tanpa beban. Mendengar itu, Bu Nia yakin seratus persen. Suaminya sempat mampir di pasar.
Walau begitu, Bu Nia bisa bernafas lega. Ia tak lagi khawatir dengan kecanduan suaminya dengan belanja. Hingga suatu hari, Bu Nia bingung karena suami dan anak-anaknya pergi begitu lama. Kemana?
Tiba-tiba, anak-anak Bu Nia berhamburan dari balik pintu gerbang. “Ma, asyik deh, Ma!” Bu Nia tampak bingung. Tak satu pun dari ketiga anaknya yang masuk tanpa memegang bungkusan. “Papa borong mainan, Ma. Papa borong mainan!” teriak anak-anak Bu Nia histeris.
Keharmonisan peran suami isteri memang jadi idaman. Keserasian perannya menjadikan keluarga senantiasa segar. Sesegar bumi yang disiram hujan, dihangatkan matahari, dan dibuai bulan.