Menata dapur rumah tangga kadang seperti mengurus tanaman di musim kering. Perlu banyak terobosan agar tanaman tetap basah. Bedanya dengan tanaman, ‘membasahi’ dapur rumah tangga tidak boleh dengan sembarang air.
Keluarga dan dapur memang sulit dipisahkan. Bisa dibilang, dapur sebagai pusat urat nadi dinamika keluarga. Jika dapur sehat, gerak keluarga begitu lincah, tenang, dan produktif. Begitu pun sebaliknya.
Boleh-boleh saja sebagian keluarga memindahkan fungsi dapurnya ke dapur-dapur rumah makan. Tak perlu repot-repot masak, makanan tinggal pilih. Tinggal tunjuk jenis masakan ala apa, makanan bisa langsung dinikmati. Seperti itulah fenomena perkotaan buat sebagian keluarga. Tentu saja, syarat mutlaknya jatuh di kekuatan kantong.
Ada juga yang ruh dapurnya gabung dengan milik orang lain. Siapa lagi yang mau gabung dapur kalau bukan antara anak dengan mertua. Bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun; dapur keluarga seorang anak bergantung pada keluarga induk.
Masalahnya, tidak semua keluarga punya kemampuan memindahkan fungsi dapurnya ke rumah makan. Dan tidak semua keluarga bernasib baik bisa gabung dapur dengan mertua. Bahkan, untuk sekadar menormalkan dapur satu-satunya pun, sebuah keluarga tidak jarang harus pintar-pintar putar otak. Setidaknya, pengalaman itulah yang kini digeluti Bu Mimin.
Delapan tahun sudah, ibu tiga anak ini mengenyam manis asamnya hidup berumah tangga. Semuanya bergulir silih berganti. Kadang seperti malam dengan siang. Dan kadang juga seperti malam dengan siang di musim penghujan. Lebih banyak gelap dari terangnya.
Namun, Bu Mimin tak pernah bosan dengan sabar. Anugerah Allah berupa suami saleh dan anak-anak yang taat sudah cukup sebagai anugerah besar. Ia sangat bersyukur. Bu Mimin sadar, tidak sedikit pasangan suami isteri yang belum dapat anugerah seperti yang ia miliki. Sekali lagi, suami saleh dan anak-anak yang taat. “Alhamdulillah!” suara batin Bu Mimin memantapkan pikirannya.
Tekad itu menjadikan Bu Mimin terlatih menata konflik bulanan. Tiap akhir bulan, ada harap cemas berkunjung. Harap ketika akan datangnya ruh baru buat nyawa dapur yang sekarat. Dan cemas kalau saja ruh yang datang tidak sesegar yang diharapkan.
Bahkan kalau diukur dengan takaran normal, gaji suami yang masuk ke kas dapur cuma bisa bertahan dua kali ketemu Sabtu. Itu sudah prestasi bagus. Karena tidak jarang cuma sampai seminggu. Di sinilah pintar-pintarnya Bu Mimin mengolah anggaran. Tentu saja bukan buat digelembungkan, justru sebaliknya: diciutkan.
Tidak jarang, Bu Mimin merasa miris saat menghidangkan masakan buat anak-anak tercinta. Sayur bening lagi. Tempe lagi. Dan tentu saja, sambal lagi. Jenis olahan apa pun, jatuhnya pasti ke tempe: rendang tempe, semur tempe, goreng tempe, kecap tempe, sayur tempe, dan keripik tempe. Kalau ada kelebihan anggaran, Bu Mimin baru bisa menambah menu dengan telur. Saat itulah, hidangan terasa begitu istimewa buat keluarga.
Kalau mau dibuat grafik, bentuknya selalu linier menurun mengikuti tanggal. Kalau tanggal muda, grafik naik. Dan berikutnya menurun, menurun, dan hampir menyentuh titik nol. Kadang Bu Mimin malu sama Allah ketika menunaikan puasa sunat. Ia cuma berharap, semoga Allah menuliskan puasanya karena taat Allah dan Rasul. Bukan karena persediaan logistik yang sudah sangat tipis. Walaupun kenyataannya, dorongan sebab yang kedua lebih kuat dari yang pertama. “Allah Maha Tahu keadaan hamba-Nya,” ucap Bu Mimin dalam hati.
Bu Mimin bukan tidak sadar perlunya penambahan jumlah anggaran. Tapi kalau kenyataannya memang begitu, mau gimana lagi. Ia tidak tega menuntut tambahan dari suami. Justru, senyumnya selalu dipaksakan untuk senantiasa mengembang ketika suami menyuplai anggaran. Berapa pun yang ia terima. Biasanya, suaminya membalas senyum Bu Mimin dengan kalimat pendek, “Biar hemat-hemat ya, Mi!”
Penafsiran kalimat itu begitu sederhana buat Bu Mimin. Benak Bu Mimin menangkap keprihatinan yang dalam dari seorang suami. Itu saja pesan yang ditangkap Bu Mimin dari suami tercinta. Seterusnya, tinggallah ibu lembut ini yang kelimpungan di belantara pasar. “Mau beli apa, ya?”
Satu hal yang disyukuri Bu Mimin, suaminya tidak banyak tahu soal harga belanjaan dapur. Karena dengan begitulah, kebingungan soal dapur cuma milik Bu Mimin. Bukan suaminya. Sengaja itu ia biarkan, agar sang suami bisa tenang di tempat kerja.
Buat urusan tempat kerja saja, suaminya sudah kelihatan repot. Berangkat selepas shalat Subuh. Dan baru bisa di rumah setelah Isya. Itu pun kalau tidak ada kesibukan lain. Kalau ada, suami pulang di kala ia dan anak-anak terlelap dibuai mimpi.
Kadang di saat senggang, Bu Mimin baru bisa ngobrol santai dengan suami. Ada ucapan suami yang pernah terlontar, “Andai kita bisa bikin kejutan buat anak-anak.” Bu Mimin agak sedikit bingung. “Maksud Abi?” tanyanya lembut. “Andai kita bisa membeli hadiah buat anak-anak menjelang Ramadhan,” ucap suami Bu Mimin menerawang. “Insya Allah, Bi! Allah Maha Kaya!” ucap Bu Mimin mantap. Suami Bu Mimin mengangguk pelan.
Tak ada bulan seindah Ramadhan. Begitu tenang, bersih, dan tentu saja hemat. Yang terakhir itulah yang membuat Bu Mimin bisa bernafas lega. Kadang, ia cukup menyediakan olahan buat sahur. Karena buka puasa seringnya di tempat lain. Kadang ada undangan buka puasa di masjid, rumah teman pengajian, yayasan, tetangga, bahkan kantor suami. Bisa makan enak, tapi tetap hemat. Ramadhan memang penuh berkah.
Pagi di minggu cerah itu anak-anak sedikit menyindir ke Bu Mimin dan suami. “Gimana Mi, Bi. Bisa beli baju baru kan?!” ucap ketiga anak Bu Mimin hampir bersamaan. “Insya Allah. Minggu depan,” ucap suami Bu Mimin yakin.
Kali ini Bu Mimin agak heran. Ia menangkap sesuatu yang lain. “Abi punya duit?” ucap Bu Mimin setelah anak-anak pergi. “Duit? Abi?” reaksi suami Bu Mimin lebih bingung. “Lha, bukannya selama ini Umi berhemat-hemat belanja dapur buat menabung?” ujar suami Bu Mimin minta kepastian. “Menabung?” Bu Mimin lebih bingung.
[email protected]