Isra Mikraj Nabi Muhammad Itu Ilmiah, Begini Penjelasannya

Digambarkannya dalam perkembangan kesunyian dirinya dalam mencapai kesempurnaan itu, dengan jalan kebaikan dan keindahan dan kebenaran, dalam mengatasi dan mengalahkan segala kejahatan, kekurangan, keburukan dan kebatilan, dengan karunia dan ampunan Tuhan juga.

Orang tidak akan mencapai keluhuran demikian itu, kalau tidak dengan suatu kekuatan yang berada di atas kodrat manusia yang pernah dikenalnya.

Apabila sesudah itu kemudian datang orang-orang yang menjadi pengikut Rasulullah SAW yang tidak sanggup mengikuti jejak pikirannya yang begitu tinggi, dengan kesadaran yang begitu kuat tentang kesatuan alam, kesempurnaan serta perjuangannya mencapai kesempurnaan itu, maka hal ini tidak mengherankan dan bukan pula aib tentunya.

Orang-orang yang piawai dan jenial memang bertingkat-tingkat. Dalam kita mencapai kebenaran inipun selalu terbentur pada batas-batas ini; tenaga kita sudah tidak mampu mengatasinya.

Haekal mengurai apabila kita mau menyebutkan sebagai contoh -dengan sedikit perbedaan tentunya, sehubungan dengan apa yang kita hadapi sekarang ini- cerita orang-orang buta yang ingin mengetahui gajah itu apa, maka salah seorang dari mereka itu akan berkata, bahwa gajah itu ialah seutas tali yang panjang, sebab kebetulan yang terpegang adalah buntutnya; yang seorang lagi berkata, bahwa gajah itu sebatang pohon, sebab kebetulan yang dijumpainya adalah kakinya; yang ketiga berkata, bahwa gajah itu runcing seperti anak panah, sebab kebetulan yang dijumpainya adalah taringnya; yang keempat berkata, bahwa gajah itu bulat panjang dan bengkok, banyak bergerak-gerak, sebab kebetulan yang dipegangnya adalah belalainya.

Contoh ini sebenarnya masih sejalan dengan gambaran yang terbayang ketika orang yang tidak buta itu melihat gajah untuk pertama kalinya.

Selanjutnya Haekal mengatakan boleh juga kiranya kita mengambil perbandingan antara persepsi (kesadaran) Muhammad menangkap esensi kesatuan alam ini serta penggambarannya ke dalam isra dan mikraj yang berhubungan dengan waktu pertama sejak sebelum Adam sampai pada akhir hari kebangkitan dan yang akan menghilangkan pula kesudahan ruang ini, ketika ia melihat dengan mata batin dari Sidrat’l Muntaha ke alam semesta ini, yang ada sekarang di hadapannya dan sudah seperti kabut -dengan persepsi (kesadaran) kebanyakan orang yang dapat menangkap arti isra-mikraj itu.

Tatkala itu ia berhadapan dengan bagian-bagian yang tidak termasuk kesatuan alam, sedang hidupnya hanya seperti partikel-partikel tubuh, bahkan seperti partikel-partikel yang melekat pada tubuh itu dengan susunannya yang tidak terpengaruh karenanya.

Dari mana pula partikel-partikel daripada hidup tubuh itu, dari denyutan jantungnya, pancaran jiwanya, pikirannya yang penuh dengan energi yang tak kenal batas; sebab, dari wujud hidup itulah ia berhubungan dengan segala kehidupan alam ini.

Isra dengan ruh dalam pengertiannya adalah seperti isra dan mikraj juga yang semuanya dengan ruh. Ini adalah begitu luhur, begitu indah dan agung. Ia merupakan suatu gambaran yang kuat sekali dalam arti kesatuan rohani sejak dari awal yang azali sampai pada akhir yang abadi. Ini adalah suatu pendakian ke atas Gunung Sinai, tatkala Tuhan berbicara dengan Musa, dan ke Bethlehem, tempat Isa dilahirkan.