Saudagar ini menukasi, “Iya. Aku sudah kaya. Hartaku jutaan dinar.”
“Maukah engkau jika aku memberikan kepadamu ratusan ribu dinar?” tanya sang ulama.
“Tentu saja. Aku tidak akan menolaknya.” jawab saudagar.
“Jika demikian, kau belum kaya.” pungkas sang ulama.
Kaya yang sejati justru bebas dari makna ketergantungan dengan harta dan segala hal terkait dunia. Tidak pernah merasa kurang karena karunia yang dia nikmati merupakan pemberian dari Allah Ta’ala Yang Maha mencukupi. Mereka tidak sibuk dengan dunia, hanya mengambil sebatas kebutuhan untuk orang-orang yang berada di bawah perwaliannya, lalu memberikan sisanya untuk infaq di jalan Allah Ta’ala.
Inilah orang-orang yang qana’ah. Jarang yang bisa menggapainya. Sebab pribadi bersifat qana’ah itu pilihan. Dia lahir karena luasnya wawasan, dalamnya pemahaman, dan kedekatannya dengan Allah Ta’ala.
Benarlah apa yang disampaikan oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, “Qana’ah adalah kekayaan, harta yang tak pernah habis, kemuliaan yang tak pernah mati, kehormatan yang tak pernah lenyap, dan ketenangan hati yang abadi.”
Jika qana’ah yang dikejar, kekayaan duniawi benar-benar akan mengejar, ke mana pun kita berlari menjauhinya. Sebaliknya, saat kita mengejar kekayaan duniawi, qana’ah benar-benar akan menjauh sejauh-jauhnya.
Adakah kita tertarik dengan predikat kaya tapi justru menjauh dari maknanya yang sebenarnya?
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]