Sementara, mayoritas ulama berpendapat hukum duduk di atas kuburan, bersandar, dan berjalan di atasnya adalah makruh.
Imam an-Nawawi menukilkan pernyataan Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm. Dijelaskan bahwa mayoritas ulama mazhab berpandangan, jika duduk di atas kuburan, bersandar, dan berjalan di atasnya hukumnya makruh.
Makruh yang dimaksudkan di sini adalah makruh tanzih. Artinya, makruh dengan maksud menjaga kehormatan dan adab, sebagaimana istilah yang kerap digunakan para ulama. Di antara yang berpandangan demikian antara lain an-Nakha’i, Laits, Ahmad, dan Dawud.
Sayyid Sabiq lantas menjelaskan bahwa ada Abdullah bin Umar, Abu Hanifah, dan Malik yang memperbolehkan duduk di atas makam. Di antara alasan kebolehannya itu adalah seperti disampaikan Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattha’, barangkali seseorang yang duduk di atas makam itu hendak menunaikan hajatnya (entah buang air kecil atau buang air besar).
Untuk memperkuat pendapatnyanya itu Imam Malik menyertakan sebuah hadis dhaif. Namun, bagi Imam Ahmad, pendapat tersebut dapat disanggah. Sebab, hal itu dianggap memberikan takwil yang salah.
Demikian juga pendapat yang terakhir ini dibantah Imam an-Nawawi. “Takwil ini (tentang bolehnya duduk di atas makam) adalah lemah dan batil. Oleh Ibn Hazam juga di sanggah dengan beberapa alasan.”
Sayyid Sabiq menjelaskan perbedaan ini muncul jika duduk itu dimaksudkan selain kepentingan buang hajat. Jika memang duduk tersebut bertujuan untuk buang hajat, para ulama sepakat haram.
Sayyid Sabiq juga menjelaskan, para ulama sepakat boleh melangkahi makam dengan catatan darurat. Jika tidak ada alasan darurat, maka hukumnya adalah haram. (Rol)