Eramuslim – SEORANG pendakwah, ustadz, dai atau penceramah tidak bisa sembarangan menyampaikan khutbah atau tausyiah agama tanpa berdasarkan ilmu. Mereka harus memiliki latar belakang pendidikan agama sehingga kredibilitasnya tidak diragukan.
Caranya tentu harus berguru demi menyerap ilmu-ilmu agama untuk kemudian berdakwah di tengah masyarakat.
Namun, belakangan marak bermunculan para dai dadakan di Indonesia. Hanya bermodal ilmu terbatas, seringkali oknum pendakwah tersebut sudah berani berceramah di depan umat. Ironisnya, mereka mendapat ilmu agama itu berasal dari belajar secara otodidak.
Lantas bagaimana pandangan ulama terdahulu tentang fenomena para dai yang belajar agama secara otodidak tanpa guru mualim?
Ada kaidah “Jangan mengambil ilmu dari orang yang mendapatkannya dari membaca sendiri, dan tak mengenyamnya dari guru-guru (talaqi),”
Terkait kaidah tersebut, ulama fikih terkenal Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berujar:
من تفقه من بطون الكتاب ضيع الأحكام.
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu fikih/memahami perihal ajaran dan hukum dalam agama (hanya) dari kitab-kitab saja dia akan menghilangkan (banyak faedah) hukum,”
Senada dengan Imam Syafi’’i, dalam Kitab Adabul ‘Aalim wal Muta’alim, karya Hadhrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan betapa pentingnya kedudukan guru dalam proses belajar-mengajar ilmu agama.
وقديما قيل: من كان شيخه كتابه, كان خطؤه أكثر من صوابه.
“Dan dahulu dikatakan: Barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya, maka kesalahannya lebih banyak dari benarnya,”