“Aku datang untuk meminta fatwamu dalam suatu perkara,” katanya.
“Apa itu,” tanya orang alim itu sambil tidak menampakkan mukanya kepada wanita itu.
Meski wajah sang kiai dari golongan Bani Israil itu tidak menatap wajahnya, wanita itu melanjutkan apa yang ingin disampaikannya. “Aku meminjam perhiasan dari tetanggaku. Aku memakannya dan meminjamkannya beberapa waktu, kemudian mereka memintaku untuk mengembalikannya. Apakah aku harus mengembalikannya?” kata wanita itu panjang lebar.
“Ya demi Allah,” singkatnya.
Wanita itu kembali berkata. “Perhiasan itu telah berada padaku selama beberapa waktu,” katanya.
Kali ini orang alim itu menjawabnya lebih panjang,untuk mempertegas apa yang disampaikannya tidak perlu diulangi lagi. “Hal itu lebih wajib atasmu untuk mengembalikannya pada mereka ketika mereka meminjamkannya beberapa waktu,” katanya.
Wanita itu kembali menimpalinya, kali ini jawabannya lebih pada apa yang ingin disampaikannya, bukan fatwa tapi sebuah perumpamaan berupa nasihat untuk orang alim yang sedang tesesat. “Semoga Allah merahmatimu. Apakah kamu menyesali apa yang Allah pinjamkan kepadamu, kemudian Dia mengambilnya darimu sementara Dia lebih berhak daripada dirimu?”
Orang alim itu terkejut dengan perkataan akhir yang disampaikan wanita itu. Selama ini ia tidak sadar apa yang telah dilakukannya selama ini keliru telah menutup diri tidak mau menerima orang setelah ditinggalkan mati oleh istri tercinta.
“Perkataan wanita itu benar aku telah menzalimi diriku sendiri ampuni atas kelalaianku ya Allah,” katanya dalam hati sambil memejamkan mata. Setelah membuka matanya yang basah oleh air mata, wanita itu sudah tidak ada di hadapannya lagi. (rol)