“Padahal dia bisa mendapatkan lagi istri yang lebih baik kalau dia mau,” begitu jawaban setiap orang kala mendengar perubahan sang guru.
Sampai pada suatu ketika di mana perubahan sikap orang alim itu menjadi gunjingan setiap orang. Ada seorang wanita yang tidak setuju orang alim itu terus disudutkan. Wanita itu bertanya kepada orang-orang yang sedang menggunjingnya.
“Aku ingin bertemu dengannya (orang alim),” katanya memotong pembicaraan orang-orang di kampung itu.
“Hendak apa engkau menemuinya sekarang dia tidak lagi membuka majelis taklim,” jawab salah satu di antara mereka kepada wanita itu.
“Aku ingin meminta fatwanya,” katanya.
“Tidak bisa. Lebih baik permintaan fatwa itu engkau wakilkan kepada saudaranya yang menemuinya untuk memberi makan dan minum,” kata seorang warga kepada wanita itu.
“Ini tidak dibisa diwakilkan,” katanya.
Setelah bedebat akhirnya salah seorang dari mereka mau mengantarkan wanita itu ketempat orang alim. Setelah dekat wanita itu disuruh menunggu di depan pintu untuk menyampaikan perihal kedatangannya.
Cukup lama wanita itu menunggu di depan pintu. Wanita itu sudah tidak sabar ingin segera bertamu dengan orang alim itu.
“Aku harus bisa bertemu dengannya,” katanya dalam hati.
Di luar dia wanita itu mendengar percakapan orang yang mengantarnya dengan orang alim itu. “Ada seorang wanita di depan pintu ingin meminta fatwamu. Wanita itu bersikap ia hanya ingin bicara denganmu,” begitu percakapan yang didengar oleh wanita di balik pintu.
“Suruh dia masuk,” kata orang alim dan juga jawaban itu terdengar oleh wanita.
Rasa penasaran takut tidak bisa diterima akhirnya kandas juga. Ternyata orang alim itu mau menemuinya. Setelah semua orang yang mengantarkan itu mempersilakan masuk dan meninggalkan rumah, wanita itu langsung berkata setelah mengucapkan salam.