Proses transformasi nilai ibadah shaum Ramadhan, dari vartikal ke horizontal, dari yang masih abstrak menuju konkrit, bagi pemangku kekuasaan, semestinya tidak boleh terjebak dalam kurungan terma sebatas menahan lapar dan dahaga semata. Namun, harus membakar sensitifitas kerakyatan, membangun kepedulian keagamaan dari semua tujuan kekuasaan itu diwujudkan. Inilah yang diungkapkan oleh al-Ghazali dalam bukunya; al-Iqtisad fi al-I’tiqad, bahwa kekuasaan hanyalah sebatas pengawal (haris) terhadap pondasi (al-asas) ajaran agama.
Dus, saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mencoba men-shaum-kan kekuasaan. Dalam arti tersiratnya, menjadikan kekuasaan itu memiliki jiwa, nurani dan sensitifitas kerakyatan, sesuai dengan hikmah kewajiban puasa Ramadhan. Atau juga boleh memaknai makna tersuratnya, yaitu menahan diri dari keserakahan, ambisius juga syakwat untuk merenggut kekuasaan dengan tujuan meraup kekayaan, populeritas, apatah lagi berniat mewariskan tahta dengan menghalalkan segala cara.
Hendaknya Ramadhan menghantarkan kita menuju ruangan orang yang beriman, yaitu—seperti ungkapan Syeikh al-Qardhawi– yang menjadikan puasa sebagai momen untuk perubahan perilaku dan jiwa, bukan sebaliknya, menjadi orang “bodoh”, yang hanya menjadikan Ramadhan sebagai perubahan jadwal waktu santapan belaka. Semoga gelar syaqiya, yaitu orang yang melewati puasa dengan tanpa diampuni dosa-dosanya, tidak menyandang identitas akhir Ramadhan kita, khususnya para penguasa. Amin.
Walluhu’alam.
Hermanto Harun; Dosen Fakultas Syari’ah IAIN STS Jambi. Mahasiswa Program Doktor, National University Of Malaysia.