Namun, misi puasa jauh dan lebih bernilai dari itu, walaupun syarat dan rukunnya merupakan titik awal dari langkah menuju ketinggian nilai hikmahnya. Bukankah Rasul juga pernah besabda; kam min shoim laisa lahu min shiyamihi illa alju’ wakam min qa’imi laitsa minqiyamihi illa al-sahr”. “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu kecuali hanya lapar, dan berapa banyak orang yang sholat malam tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari sholat malamnya itu kecuali hanya sekedar begadang saja.”
Berangkat dari ini juga, ibadah puasa tidak termasuk dalam komunitas ibadah ragawi (jismiyah), akan tetapi berada dalam teritori ibadah ibadah ruhiyah yang menitikberatkan kerja jiwa. Karena puasa bersifat rahasia, yang hanya diketahui keabsahan amal itu oleh pribadi setiap pelaksananya. Disini singkronisasi sabda Rasul dalam hadist qudsi, “Setiap amal ibadat anak Adam itu adalah untuknya, kecuali puasa, ia adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.”
Jika memahami kewajiban puasa Ramadhan sebagai suatu perintah Tuhan dan aktualisasi iman, maka ada pertanyaan yang patut diusungkan, yaitu, mengapa keimanan dalam menjalankan puasa tidak senyawa dengan perilaku politik dan tidak seirama dengan kebijakan kekuasaan? Bukankah menegakkan keadilan dan menjalankan amanah kekuasaan dengan semestinya, juga bagian dari perintah Tuhan yang harus diimani? Lantas mengapa perilaku korupsi, menzalimi rakyat, perilaku politik yang menghalalkan segala cara, seolah berada di luar wacana keimanan universal Ramadhan.
Ibadah Ramadhan menjelma menjadi ritual musiman yang tidak memiliki korelasi dengan perilaku keseharian. Keagungan Ramadhan hanya tercermin dari kebijakan simbolis formalistik. Kesucian puasa Ramadhan akhirnya menyemai bibit sikap dualisme dalam diri politisi dan penguasa. Pada bulan suci, tempat maksiat ditutup, razia terhadap perbuatan asusila digalakkan. Seolah kebijakan semacam ini menjadi aturan tahunan, ketika musim Ramadhan datang. Seakan, perilaku prostisusi, tempat hiburan yang beris maksiat tersebut, hanya sah keharamannya di saat Ramadhan.
Yang lebih substansial dari itu, adakah sensitifitas puasa para pembuat kebijakan, ditransformasikan ke dalam kebijakan untuk membasmi, atau paling tidak “meminimalisir” lokalisasi prostisusi, peredaran minuman keras dan penutupan tempat maksiat dengan agenda dan program yang jelas dan terstruktur? Ini menjadi penting, mengingat, para pagiat bisnis dan penjaja maksiat ini selalu berlindung dibalik akuan status kemiskinan. Walau sebenarnya, kemiskinan mental dan spiritual yang akut, mendominasi semua alasan perilaku asusila itu.