Namun, sebagai “hadiah” dan motivasi bagi siapa yang melaksanakan ajaran puasa tersebut dengan penuh kayakinan (‘iman) dan penuh perhitungan (ihtisab). Makanya, ungkapan al-Qur’an pada akhir ayat perintah puasa Ramadhan diakhiri dengan kalimat “la’allakum tattaqun” (semoga kamu menjadi orang yang bertaqwa), yang berbentuk kata harapan dan di masa mendatang. Hal ini disebabkan, banyak pelaku puasa yang tidak mencapai derajat kemurnian taqwa.
Melokalisasi kewajiban puasa dalam kerangkeng parsial itu, kemudian melahirkan banyak masalah. Sehinnga di kalangan masyarakat awam, seringkali timbul pertanyaan yang antagonis. Bagaimana seorang yang puasa, tapi tidak solat? Bagaimana pula seseorang penguasa yang berpuasa, tapi dalam waktu yang sama menzalimi rakyat, korupsi uang negara dan acuh terhadap kehancuran moral dan sosial.
Padahal kehancuran moralitas itu lahir dari kebijakan kolusi pemimpin dengan para pemilik kapital. Bahaya laten pemahaman yang parsial terhadap kewajiban keagamaan inilah yang pernah diberanguskan oleh khalifah pertama Islam, Abu Bakar al-Sidiq. Dalam ungkapannya yang tenar “demi Allah, saya akan membunuh siapa saja yang membedakan antara kewajiban solat dengan zakat”. Suatu ungkapan yang mencerminkan integralitas ajaran Islam, yang tidak memilah suatu kewajiban dengan kewajiban lainnya. Jika tidak, maka akan bias, dan akan muncul pehamaman keagaman lokalistik dan parsial. Prevensi bahaya ini-lah, yang kemudian meligitimasi keputusan Abu Bakr memerangi orang-orang pengingkar kewajiban zakat. Perang ini kemudian dikenal dengan harb al-riddah.
Tentunya, kewajiban Ibadah puasa Ramadhan merupakan satu bagian dari integralitas keimanan agama yang tidak boleh dicederai oleh paham parsial tadi. Di sini kemudian letak relasi “simbiosis” keimanan puasa dengan iman kepada yang lain dalam keyakinan Islam. Artinya, keimanan terhadap kewajiban puasa Ramadhan jelas merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari semua kewajiban yang telah diperintahkan Allah dalam kitab suci-Nya.
Jika dipahami demikian, misi Ramadhan tidak terhenti sebatas kewajiban yang syakliayah (simbolik) dan rutinitas semata. Keimanan terhadap kewajiban Ramadhan hendaknya menjadi injeksi vitamin jiwa untuk mengeratkan hubungan kepada Sang Pencipta dalam segala dimensi kehidupan. Ibadah puasa tidak melulu hanya diartikan dalam pemahaman yang terangkum dalam hukum sah dan tidak sah secara fiqhiyah.