“Kamu,” terang Nabi Nuh ‘Alaihis salam kepada iblis, “telah diberi kesempatan untuk bertaubat.”
“Caranya?” sambar iblis bertanya.
“Sujudlah (sebagai tanda hormat, bukan penghambaan) kepada kubur Nabi Adam ‘Alaihis salam.” jelas Nuh ‘Alaihis salam.
Mendengar penjelasan Nabiyullah Nuh ‘Alaihis salam, setan pun marah besar. Katanya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dunya dalam Makayid asy-Syaithan yang dikutip oleh Syeikh Ibnu Muflih al-Maqdisi dalam bukunya Agar Tidak Diperdaya Setan, “Aku tidak bersujud (sebagai tanda hormat) kepadanya saat dia masih hidup, lalu aku bersujud kepadanya saat ia telah mati?!”
Dalam riwayat lain dari ‘Abdullah bin ‘Umar juga terdapat makna serupa. Nabi Musa Kalimullah bertemu dengan iblis. Iblis mengakui dosa yang dia lakukan, lalu bertanya kepada Nabi Musa. Nabi yang sempat menjadi anak angkatnya Fir’aun ini pun menyampaikan bahwa Allah Ta’ala memberi kesempatan taubat kepada iblis dengan bersujud sebagai tanda hormat kepada kubur Nabi Adam ‘Alaihis salam.
Serupa dengan riwayat pertama dalam dialog dengan Nabi Nuh ‘Alaihis salam, setan pun marah ketika mendengar penuturan Nabi Musa ‘Alaihis salam seraya berkata, “Aku menolak sujud kepada Adam saat ia masih hidup. Haruskah aku bersujud kepadanya saat dia telah mati?!”
Peluang untuk bertaubat, sejatinya senantiasa terbuka. Akan tetapi, diri sendirilah yang sering menolak dengan menciptakan banyak penutup atas pintu taubat yang telah dibuka oleh Allah Ta’ala.
Rabbanaghfirlanaa… [Pirman/Kisahikmah]