Umumnya kita mungkin kecewa ketika sepatu atau sandal kesayangan tiba-tiba rusak. Mau dibuang sayang, mau diperbaiki kayaknya nggak murah.
Kalau sudah begitu, tukang sol sepatu mungkin jawaban yang paling tepat. Biayanya relatif murah. Nggak sampai sepuluh ribu per sepatu. Dan, sepatu Anda bisa seperti baru lagi.
Mungkin, inilah hikmahnya. Di balik kekecewaan kita dengan sepatu dan sandal kesayangan yang rusak, di situlah Allah memberikan rezeki kepada hamba-Nya yang lain.
Setidaknya, hal itulah yang tertangkap dari obrolan eramuslim dengan seorang penjaja jasa perbaikan sandal dan sepatu.
Nama Bapak?
Saya Salim.
Sudah lama Bapak menjadi tukang sol sepatu? (penjual jasa perbaikan sepatu, sandal, tas, dll)
Sejak tahun 82. Nggak lama setelah Gunung Galunggung meletus.
Usia Bapak sekarang berapa?
Kurang lebih 50 tahun.
Dari mana Bapak belajar perbaikan sepatu?
Saya dulu ikut uwak (paman, red) keliling memperbaiki sepatu. Dari situ saya belajar.
Sejak awal Bapak keliling di Jakarta?
Ya, lebih dekat ke kampung.
Kampung Bapak di mana?
Garut.
Di Jakarta Bapak tinggal di mana?
Saya dan saudara dari kampung tinggal di gubuk di tanah PT. (sewa di tanah kosong milik sebuah perusahaan yang belum dibangun, red)
Berapa biaya kontraknya?
Seratus ribu sebulan.
Dari jam berapa Bapak berangkat?
Mulai jam 6 pagi sampai jam 5 sore.
Sebelas jam! Seberapa jauh Bapak berjalan?
Paling jauh sekitar satu kecamatan.
Hari Minggu libur?
He..he..he. Nggak ada liburnya.
Berapa penghasilan Bapak per hari?
Nggak tentu. Rata-rata saya bisa simpan 25 ribu per hari buat yang di kampung.
Anak Bapak berapa?
Cuma dua. Semuanya sudah nikah.
Bapak tidak pensiun?
Gimana pensiun, lha anak dan menantu saya tinggalnya masih nyampur sama saya. Saya jadi ikut nanggung mereka.
Berapa kali sebulan Bapak pulang kampung?
Nggak tentu. Kalau punya duit saja. Kadang-kadang tiga bulan baru pulang.
Kenapa nggak jadi petani saja. Kan, lebih dekat dengan keluarga?
Saya nggak punya sawah. Pernah jadi buruh tani, pendapatannya cuma 15 ribu sehari.
Bapak pernah nyantri di kampung?
Pernah. Di Garut banyak pesantren. Jadi, memang sudah biasa anak-anak di sana masuk pesantren sebelum kerja keluar kampung.(mnuh)