Setelah tidak bisa masuk perguruan tinggi lantaran kendala biaya, Asep Hermawan (35) memilih mengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI).
"Honor saya lima ribu rupiah sebulan. Itu pun diberinya setahun sekali (dirapel)," ujarnya santai. Penghasilan minim sebagai guru honorer tak menyurutkan niat Asep menyunting Heni Suhaeni (27). Asep bersama istrinya hidup seirit mungkin, sesuai pendapatan bulanannya. Kebutuhan yang dirasa tidak penting, dicoret dari daftar belanjaan.
Setahun berlalu. Asep dan istrinya dikarunia bayi perempuan (Fitriyah). Kehadiran putri pertamanya jelas mendongkrak pengeluaran. Asep putar otak. Setelah pagi hari mengajar di MI, siangnya mengajar di MTs dan MA. Selain itu, ia bergabung dengan Kelompok Tani Unggul untuk belajar bercocok tanam.
“Kalau tidak ada tugas ngajar di sekolah, saya ngurus padi di sawah. Saya mencari uang tambahan. Apalagi anak kedua (Fiqhul Haqim) sudah lahir. Tentu pengeluaran pun naik. Kalau ini tidak diimbangi pemasukan, pepatah lebih besar pasak daripada tiang berlaku bagi saya dong,” tuturnya tersenyum.
Keseriusan Asep bertani –tanpa meninggalkan ngajar—kian menggebu, kala kelompok taninya yang ada dalam kendali Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Wanti Asih menjalin kerjasama dengan Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Dompet Dhuafa. Di situlah Asep mendapat banyak ilmu baru soal pertanian dan peternakan, termasuk bantuan bibit, teknologi pertanian dan modal.
”Yang menggembirakan, saya dipercaya untuk menerima bantuan 6 ekor kambing dari Ternak Domba Sehat (TDS) Dompet Dhuafa. Kesibukan saya jadi bertambah; mencari rumput dan membersihkan kandang, hampir setiap hari. Domba saya terus berkembang. Kini jumlahnya 16 ekor,” katanya bangga. Sejak itu, Asep selalu bersyukur. Penghasilannya terus meningkat. Apalagi dari hasil usaha pertanian dan peternakan yang ditabungnya, ia dapat membeli sebidang tanah. Di atas tanah itu dibangun rumah untuk tempat tinggal istri dan kedua buah hatinya.
Lain waktu, LPS menggelar pelatihan pembuatan kompos ofer (organic fertilizer) bagi anggota Wanti Asih. Asep tak mau ketinggalan. Sampai-sampai ia duduk paling depan. Usai pelatihan dan paham tata cara pembuatan, ia mempraktekannya. Tanah berukuran 4×8 meter di belakang rumahnya dibuat saung sebagai tempat produksi pupuk organik.
Mula-mula Asep mencari kotoran sapi sebagai bahan dasar pupuk organik. Saban hari ia mengangkutnya dari desa tetangga—10 kilometer dari rumah Asep—. Maklum, di kampungnya tak ada peternakan sapi. Rupanya tetangga rumah Asep terganggu oleh bau kotoran sapi yang menyengat hidung itu. Apalagi, kotoran yang dibawanya ada saja yang terjatuh di pelataran rumah tetangga. “Soal bau itu, saya terkadang pura-pura nggak tahu,” Asep nyengir.
Sebagai percobaan, Asep membuat pupuk organik dalam jumlah terbatas, sekira 500 kilogram. Ia mencampur kotoran sapi dengan bahan lainnya, seperti jerami cincang, kapur pertanian, arang sekam, dedak, dan IM4. Ia mencangkulnya hingga merata, lalu menutup rapat dengan karung atau plastik. Esok hari diaduk lagi, kemudian ditutup dan didiamkan 3-4 hari sampai suhu 45 derajat.
Hari berikutnya diaduk kembali dan dibiarkan 2 hari sampai suhu turun 30 derajat. Ia menaruh alat pengukur panas di tengah gundukan tanah. Setelah itu, pupuk organik diayak supaya halus, dibungkus plastik dan siap dijual ke LPS. Proses pembuatan hingga jadi kurang lebih 10 hari.
“Semua tahapan itu saya lakukan sendiri. Ternyata pendamping dari LPS bilang, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Karenanya tidak bisa dijual ke LPS. Akhirnya, saya pakai sendiri untuk tanaman padi,” seloroh Asep.
Asep tak kapok. Selang beberapa hari, ia kembali membuat pupuk organik. Kali ini lebih berhati-hati. Masukan dan saran dari LPS benar-benar diterapkan. Ia berjibaku dalam pembuatan kompos ofer, tak peduli bau kotoran sapi yang menusuk indera penciumannya.
“Begitu orang LPS tahu hasilnya, mereka mau membeli. LPS pun menyatakan saya sudah bisa membuat pupuk organik sendiri, meski quality control dipegang LPS,” cetus pelopor pembuat kompos ofer di Kampung Bojong Menteng, Desa Cibalung, Kec. Cijeruk, Kab. Bogor, itu.
Prestasi Asep tersebut mengundang decak kagum Dinas Pertanian Bogor. Mereka berkeinginan membeli kompos ofer sebanyak 2 ton.
”Alhamdulillah…itu rezeki yang tak pernah terpikirkan. Sekarang saya bisa memproduksi pupuk organik 3 ton perbulan, dengan jumlah karyawan 4 orang,” tandas lulusan Madrasah Aliyah ini. (LHZ/Dompet Dhuafa)